jejak ajaran Buddha

jejak ajaran Buddha

SPACE IKLAN

SPACE IKLAN

Translate

Senin, Maret 02, 2015

CATUR ARIYASACCA (EMPAT KEBENARAN MULIA)

Empat kebenaran mulia yaitu:

  1. DUKKHA: penderitaan atau yang tidak memuaskan. Dukkha meliputi penderitaan batin dan jasmani karena keduanya pada dasarnya tidak menyenangkan dan tidak memuaskan
  2. SAMUDAYA: Sebab timbulnya dukkha. Tanha atau nafsu keinginan dinamakan Samudaya, karena itu merupakan sebab timbulnya Dukkha. ada tiga jenis tanha:
    • Kamatanha: Nafsu keinginan terhadap objek-objek kemelekatan
    • Bhavatanha: Nafsu keinginan untuk menjadi ini dan itu.
    • Vibhavatanha: Nafsu keinginan untuk tidak menjadi ini dan itu.
3. NIRODHA: Lenyapnya dukkha. Dengan melenyapkan tanha secara mutlak, maka dukkha akan berakhir. Itu disebut Nirodha, karena itu adalah akhir dukkha.
4. MAGGA: Jalan yang harus ditempuh untuk mengakhiri dukkha. Panna atau kebijaksanaan yang melihat dengan benar bahwa "inilah Dukkha"; :inilah sebab timbulnya Dukkha"; "inilah akhirnya Dukkha"; "Inilah jalan yang membawa pada akhir Dukkha".
Magga mempunyai delapan faktor bagian, yaitu;
  • Samma-ditthi (pandangan benar)
  • Samma-sankappa (pikiran benar)
  • Samma-vaca (ucapan benar)
  • Samma0kammanta (perbuatan benar)
  • Samma-ajiva (matapencaharian benar)
  • Samma-vayama (usaha benar)
  • Smma-sati (perhatian benar)
  • Samma-samadhi (konsentrasi benar)

Note: Ajaran Bagi Pemula. Bandung Sucinno Indonesia. Hal 29.

CATUR ARIYASACCA (EMPAT KEBENARAN MULIA)

Empat kebenaran mulia yaitu:

TIGA NASIHAT SANG BUDDHA YANG UTAMA

NASIHAT PERTAMA
Ajaran Sang Arahanta Sammasambuddha yang adalah menghentikan Duccarita. Dengan kata lain menghentikan semua perbuatan jahat, perbuatan yang akan membuahkan penderitaan. Perbuatan-perbuatan jahat itu dilakukan dengan melalui badan jasmani, (Kaya Duccarita), ucapan (Vaci Duccarita), maupun yang dilakukan oleh pikiran (Mano Duccarita).
Ajaran ini memiliki persamaan dalam pengertiannya dengan Ovadapatimokkha bab yang kesatu yang berbunyi "Janganlah berbuat jahat" atau dalam bahasa palinya berbunyi "Sabbapapassa akaranam".
Perbuatan jahat yang dilakukan oleh badan jasmani (Kaya Duccarita) ada tiga, yaitu;
1. membunuh mahkluk hidup.
2. mencuri atau mengambil barang-barang milik orang lain.
3. berzinah atau berkelaluan asusila.

Dan perbuatan jahat yang dilakukan dengan melalui Ucapan (Vaci Duccarita) ada empat maca, yaitu;
1. berdusta/berbohong/menipu.
2. mengadu domba atau memfitnah sehingga menimbulkan permusuhan.
3. mengeluarkan kata-kata kasar, umpamanya seperti mengumpat, mencaci maki dan lain sebagainya.
4. berbicara tentang hal-hal yang tidak berguna (omong kosong/menggosip).

Sedangkan perbuatan jahat yang dilakukan dengan melalui pikiran (Mano Duccarita) adalah sebagai berikut;
1. Loba atau keserakahan
pikiran ingin memiliki harta orang lain.
2. Byapada atau itikad jahat
pikiran ingin menyakiti orang lain
3. Micchaditthi atau pandangan salah.
pengertian yang bertentangan dengan hukum kebenaran.

Kesepuluh perbuatan jahat seperti yang tersebut diatas itu adalah hal-hal yang pertama-tama harus dihindarkan oleh seorang pemeluk atau penganut agama Buddha. Tanpa menghentikannya terlebih dahulu, maka perbuatan baik atau Kusala Kamma sulit untuk dilakukan.

NASIHAT KEDUA
Setelah dapat mengentikan Duccarita maka seorang umat Buddha seharusnya mengembangkan Sucarita. Dengan kata lain, mengembangkan semua perbuatan baik, perbuatan-perbuatan yang akan mendatangkan kebahagiaan. Perbuatan-perbuatan baik itu dapat dilakukan dengan melalui badan jasmani, ucapan, dan pikiran.
Ajaran ini memiliki persamaan dalam pengertiaannya dengan Ovadapatimokkha bab yang kedua, yang berbunyi "Tambahlah kebaikan" atau dalam bahasa palinya "Kusalassupasampada"
Perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh badan jasmani ada tiga, yaitu;
1. menahan diri dari membunuh mahkluk hidup.
2. menahan diri dari mengambil barang-barang milik orang lain.
3. menahan diri dari perbuatan asusila.
Dan perbuatan baik yang dilakukan dengan melalui ucapan, ada empat, yaitu;
1. menahan diri dari berdusta/berbohong/menipu.
2. menahan diri dari mengadu domba atau menfitnah sehingga menimbulkan permusuhan.
3. menahan diri dari mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor.
4. menahan diri dari berbicara tentang hal-hal yang tidak berguna.
Sedangkan perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan dengan melalui pikiran (Mano Sucarita), ada tiga hal.
1. Alobha atau ketidakserakahan.
pikiran yang tidak ingin memiliki harta orang lain.
2. Abyapada atau itidak tidak jahat.
tidak mempunyai pikiran untuk menyakiti orang lain/mahkluk lain.
3.Sammaditthi atau pandangan benar.
tidak mempunyai pengertian yang bertentangan dengan kebenaran.

Kesepuluh perbuatan baik tersebut diatas adalah perbuatan-perbuatan yang patut dibangkitkan dan kemudian dikembangkan. Dengan mengembangkan kesepuluh perbuatan-perbuatan itu, maka kita akan dapat dilahirkan alam alam-alam yang menyenangkan (Sugati).

NASIHAT KETIGA
Setelah kita dapat menghentikan Duccarita dan telah mengembangkan Sucarita, maka hal terakhir yang harus dilakukan adalah membuat pikiran menyingkir dari hal-hal yang menimbulkan kekotoran batin.
Tiga hal tersebut adalah akar timbulnya semua perbuatan jahat apabila tiga hal tersebut belum dapat diatasi maka kesepuluh perbuatan jahat akan dapat timbul dalam diri kita.
Ajaran ini dapat disamakan dengan Ovadapatimokkha bab yang ketiga yang berbunyi "Sucikan hati dan pikiran" atau dalam bahasa palinya berbunyi "Sacittapariyodapanam".

Note: Ajaran Bagi pemula. Bandung Succino Indonesia. Hal 24.

#Dilarang Copas. ngisi blog butuh tenaga dan waktu.!!

ASAL MULA OVADAPATIMOKKHA

Menyadari betapa pentingnya Ovadapatimokkha ini, maka sangat tepat untuk diceritakan secara garis besarnya saja kejadian waktu Ovadapatimokkha ini disabdakan oleh Sang Buddha.
Pada waktu sembilan bulan setelah Sang Buddha mencapai penerangan sempurna, tepatnya pada saat Purnama Sidhi di bulan Magha, Sang Buddha bersemayam di Vihara Veluvana arama (vihara yang di bangun oleh raja Bimbisara) di dekat kota Rajagaha, India. Pada saat itu terjadi suatu peristiwa yang sangat jarang sekali terjadi, yaitu;
Berkumpulnya 1.250 siswa Sang Buddha tanpa mengadakan suatu perjanjian terlebih dahulu. Kesemuannya adalah siswa-siswa langsung Sang Buddha, artinya siswa-siswa yang ditabiskan oleh Sang Buddha sendiri. Dan semua siswaNya itu telah mencapai tingkat Arahat dan memiliki kekuatan batin atau yang biasa disebut Abhinna.
Dewa membabarkan pokok-pokok ajaranNya, yang salah satunya adalah yang tertulis diatas.
PENJELASAN:
Sesuai dengan hukumnya, setiap mahkluk bertanggung jawab terhadap kammanya sendiri dan setiap mahkluk adalah pembuat kammanya sendiri. Kamma itu dapat dilakukan dengan melalui tida cara, yaitu melalui perbuatan, ucapan dan pikiran. Perlu juga diketahui, bahwa suatu perbuatan dapat disebut kamma apabila dilandasi dengan suatu kehendak atau dalam bahasa palinya Cetana. Tanpa Cetana ini tidak mungkin seseorang dapat dikatakan telah membuat kamma.
1. Perbuatan Jasmani (Kaya Kamma)
Yang dimaksud Kaya Kamma adalah semua perbuatan yang dilakukan dengan melalui badan jasmani, misalanya memukul, menganiaya, mencuri, merampok, membunuh, menodong, dan lain-lain.

2. Perbuatan Ucapan (Vaci Kamma)
Yaitu semua perbuatan yang dilakukan dengan melalui ucapan sebagai landasannya, misalnya menipu, mencela, berbohong, berbicara kasar. memfitnah, mengadu domba, memuji, memberi nasihat, berdoa/membaca paritta, memberikan kotbah, dan lain-lain.

3. Perbuatan Pikiran (Mano Kamma)
Yaitu semua perbuatan yang dilakukan oleh pikiran, misalnya merencanakan suatu perbuatan, mencuri, merampok, menerungkan sifat-sifat mulia, memancarkan perasaan cinta kasih, melakukan meditasi, dan lain-lain.

Ketiganya adalah landasan pokok bagi terwujudnya suatu kamma. Baik buruknya kamma itu tergantung sepenuhnya pada Cetana. Apabila kita berbuat, berbicara, berpikir dengan penuh kebencian, keserakahan, atau kebodohan, maka kamma yang kita perbuat tergolong kamma buruk atau Akusalakamma dan buahnya pasti penderitaan.
Sedangkan apabila kita berbuat, berbicara, berpikir bebas dari kebencian, keserakahan, atau kebodohan maka kamma yang kita perbuat tergolong kamma baik atau Kusalakamma dan akan berbuah kebahagiaan.
Untuk itulah sangat penting bagi kita untuk membuat pikiran kita jauh dari kebencian, keserakahan, dan kebodohan (Dosa, Lobha, dan Moha).
Seseorang dilahirkan dalam keadaan yang menyenangkan, menyusahkan, miskin, kaya, cantik jelek, pandai, bodoh adalah tergantung kamma yang dia perbuat sebelumnya. Oleh karena itu Sang Buddha sering menyarankan kepada kita agar selalu menjaga panca-indera dan pikiran kita.

Note: Ajaran Bagi Pemula. Bandung Sucinno Indonesia. hal 22.

Minggu, Maret 01, 2015

RINGKASAN TIGA NASIHAT SANG BUDDHA

1. Menghentikan Duccarita, dengan kata lain menghentikan praktek-praktek salah melalui badan, ucapan, dan pikiran.
2. Mengembangkan Succarita, dengan kata lain mengembangkan praktek-praktek benar melalui badan, ucapan, dan pikiran.
3. Membuat hati (pikiran) menyingkir dari hal-hal yang menimbulkan kekotoran batin, yaitu keserakahan, kebencian, dan kebodohan.

Untuk dapat melaksanakan tujuan agama sesuai dengan yang diajarkan oleh agama yang di anutnya adalah suatu pekerjaan yang berat. Pekerjaan-pekerjaan ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna hanya dalam satu kali kehidupan saja. Untuk dapat melaksanakan itu semua haruslah ada suatu pedoman. Satu-satunya pedoman yang sangat sesuai bagi pemeluk agama Buddha ialah; Ovadapatimokkha yang salah satu isinya adalah sebagai berikut;
"SABBAPAPASSA AKARANAM KUSALASSUPASAMPADA SUCITTAPARIYODAPANAM ETAM BUDDHANA SASANAM"
Yang artinya
"Janganlah berbuat jahat, tambahlah kebaikan, sucikan hati dan pikiran, inilah ajaran semua Buddha"

Syair di atas adalah bagian yang sangat penting dalam agama Buddha, bahkan dapat juga di katakan bahwa syair tersebut adalah jantung agama Buddha. Syair itu merupakan seluruh intisari ajaran yang telah disampaikan oleh Sang Buddha, yang berjumlah 84.000 bab itu.
Dengan kata lain, kalimat pertama adalah ringkasan Vinaya Pitaka, kaliamat kedua adalah ringkasan Sutta Pitaka, sedangkan kalimat ketiga adalah ringkasan Abhidhamma Pitaka.

Note: Ajaran Bagi Pemula. Bandung Sucinno Indonesia. hal 22.

TIGA CARA SANG BUDDHA MENGAJAR

1. Beliau mengajar agar mereka yang mendengar dapat mengetahui secara mendalam dan mengerti dengan benar apa yang pantas untuk diketahui dan dimengerti.
2. Beliau mengajar dengan menggunakan contoh-contoh, sehingga mereka yang mendengar dapat merenungkan dan melihat (Dhamma) dengan benar (bagi dirinya sendiri).
3. Beliau mengajar dengan suatu cara yang luar biasa, sehingga mereka mengikuti dan melaksanakan Sang Jalan (Dhamma) itu dapat memperoleh faedah-faedah (keuntungan) sesuai dengan praktek mereka.

Seorang pengusaha yang ingin mendapatkan banyak kemajuan dalam usahanya, harus membuat dan menetapkan suatu pedoman/prinsip lebih dahulu, sebelum mereka mulai menjalankan pekerjaannya. Pedoman-pedoman inilah yang banyak menentukan apakah usaha itu akan memperoleh kemajuan dan perkembangan atau tidak. sebelumnya mereka harus mengerti dan mempelajari dengan sebaik-baiknya hal-hal yang ada hubungannya dengan usaha yang akan dijalankan tersebut. Mereka harus menyelidiki kelemahan-kelemahan yang adan dan berusaha dengan selekas mungkin untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut bila dapat diketahui penyebabnya. Di samping itu mereka harus membuat rencana-rencana yang akan dijalankan dalam jangka waktu tertentu. Mereka hendaknya juga berusaha sedapat mungkin untuk menjalankan pekerjaannya tersebut sesuai dengan rencana-rencana yang telah dibuat. Maka rintangan-rintangan yang menghalangi jalan perusahaan akan dapat diatasi sedini mungkin. Dengan demikian tujuan utama perusahaan tersebut akan dapat dicapai.

Demikian pula halnya dengan Sang Buddha, seorang pekerja yang paling utama dalam dunia ini. Pekerjaan mulia beliau adalah mengajar dan membimbing semua mahkluk khususnya manusia untuk menjalankan Dhamma yang akan membuat mereka semua akan memperoleh kedamaian, kesejahteraan, serta kebahagiaan. beliau menjalankan pekerjaanNya dengan sebaik dan sesempurna mungkin. Sehingga keuntungan yang besar tersebut dapat dicapai mereka semua. Karena begitu sempurna ajaranNya (Dhamma), sehingga dapat bertahan terus walaupun telah berusia 2500 tahun lebih. Dhammanya itu juga dikenal di seluruh penjuru dunia.

Pada waktu beliau berdiam di Cetiya Gotamaka yang terletak di dekat kota Vesali Beliau menyatakan ajaranNya sebagai berikut:
ABHINNAYAM BHIKKHAVE DHAMMAM DESEMI NO ABHINNAYA
SANIDANAHAM BHIKKHAVE DHAMMAM DESEMI NO ANIDANAM
SAPPATIHATIYAHAM BHIKKHAVE DHAMMAM DESEMI NO APPATIHARIYAM
yang artinya
Duhai para Bhikkhu, kami mengajarkan Dhamma demi pengetahuan tertinggi, bukan tidak demi pengetahuan tertinggi
Duhai para bhikkhu, kami mengajarkan Dhamma berdasarkan alasan-asalan, bukan tidak berdasarkan pada alasan-alasan.
Duhai para bhikkhu, kami mengajarkan Dhamma bagi pengertian, bukan tidap demi pengertian.

Pengelasan
1. Beliau mengajar agar mereka yang mendengar dapat mengetahui dan mengerti dengan benar apa yang tidak patut untuk diketahui dan dimengerti.
Dalam banyak kesempatan Sang Buddha sering menekankan bahwa Beliau hanya mengajarkan Dhamma kepada mereka yang dapat menerima DhammaNya tersebut. Beliau mengajarkan Dhamma bukan dengan tujuan supaya mereka yang mendengar akan mengetahui pengetahuanNya yang luas an kebijaksanaanNya yang tinggi, akan tetapi semata-mata dengan tujuan agar mereka yang mendengar akan dapat mengerti dengan benar. Beliau tidak akan mengajarkan DhammaNya apabila dirasa waktunya masih belum tepat.
Sekarang yang menjai pertanyaan kita, mengapa Dhamma itu patut untuk dikeahui dan dimengerti. Satu-satunya jawaban yang tepat ialah karena Dhamma itu akan membawa banyak manfaat dan keuntungan bagi mereka yang melaksanakannya. Jelasnya Sang Buddha tidak akan mengajarkan sesuatu yang tidak dapat membawa keuntungan, walaupun hal itu merupakan suatu kebenaran.
Sang Buddha sering mengajarkan tentang unsur-unsur yang membentuk tubuh mahkluk hidup (Dhatu), juga tentang Indriya-indriya (Ayatana) dan tentang kelompok kehidupan (Khanda), dengan tujuan supaya kita dapat mengerti dengan jelas siapakah sesungguhnya kita ini. Adakah sesuatu yang kekal di dalamnya? Patutkah kita melekat kepadanya? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang patut kita renungkan setiap saat. Apabila kita telah mengerti itu semua dengan benar, maka terbuka semua misteri yang menyelimuti kehidupan ini selama berabad-abad lamanya.
Untuk dapat mengerti ini semua dengan benar bukanlah suatu pekerjaan yang ringan, ini memerlukan suatu perjuangan yang keras sehingga kebijaksanaan yang ada dalam diri kita akan dapat berkembang (Lokuttara Panna).

2. Beliau mengajarkan dengan menggunakan alasan-alasan, sehingga mereka yang mendengar akan dapat mengerti dan memahami Dhamma dengan benar.
Jadi semua ajaran-ajaran Sang Buddha adalah suatu kebenaran uang mutlak, bukanlah suatu hal yang masih diragukan atau masih samar-samar pengertiannya. Semua itu merupakan suatu kenyataan umum yang telah dialami oleh semua mahkluk hidup, juga bukan sesuatu hal yang dibuat-buat atau diada-adakan, akan tetapi memang telah ada
Dalam suatu kesempatan Sang Buddha pernah bersabda:
"Oh para bhikkhu, apakat Tathagata muncul atau tidak, Dhamma tetap ada. Ini merupakan hukum abadi"

3. Beliau mengajarkan Dhamma dengan mengunakan suatu cara yang luar biasa, sehingga mereka yang melaksanakan akan memperoleh manfaat dan keuntungan yang sesuai dengan praktek mereka.
Jelaslah semua Ajaran Sang Buddha akan menghasilkan manfaat besar kecilnya manfaat tersebut tergantung sepenuhnya pada usaha yang telah dilakukan. Misalnya tentang Pancasila Buddhis, siapapun yang bisa melaksanakan semuanya akan memperoleh manfaat atau keuntungan yang sempurna. Mereka yang hanya melaksanakan sebagian saja juga akan memperoleh manfaat walaupun agak kurang.

TAMBAHAN
Sang Buddha adalah seorang guru yang tidak pernah menggunakan kekuasaanNya untuk dipaksakan kepada murid-muridNya. Dalam banyak hal Sang Buddha sering memberikan hak atau kebebasan kepada murid-muridNya.
1. Kebebasan atau hak dalam hal belajar (Pariyatti).
Sang Buddha tidak pernah melarang siswa-siswaNya untuk mempelajari pengetahuan-pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi dirinya sendiri, yaitu pengetahuan-pengetahuan yang secara langsung maupun tidak langsung akan membantu dalam usaha untuk mendapatkan kepandaian, kecerdasan, kepintaran dan kebijaksanaan.

2. Kebebasan atau hak dalam melaksanakan ajaran (Patipatti)
Sang Buddha hanyalah sebagai petunjuk jalan, setiap murid-muridNya bebas melaksanakan ajaranNya sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Mereka bebas melakukan usaha yang mereka anggap baik untuk diri mereka sendiri maupun mahkluk lain.

3. Kebebasan atau hak dalam memperoleh hasil (Pativedha)
Kesucian dan kesempurnaan tidaklah dimonopoli oleh seorang Buddha saja, akan tetapi setiap mahkluk apabila berusaha dan berjuang dengan sungguh-sungguh akan dapat memperoleh kesucian. Bahkan mereka juga dapat mencapai hasil seperti apa yang telah dicapai oleh Sang Buddha, jika mereka mau dan terus berusaha.

Note: Ajaran bagi pemula. Bandung Sucinno Indonesia hal 18.

AGAMA BUDDHA (BUDDHA SASANA)

Sama seperti agama Hindu/Brahma, agama Buddha juga berasal dari India, tepatnya India utara (sekarang masuk kekuasaan Nepal). Agama Buddha dibabarkan dan diajarakan oleh Sang Buddha Gotama, seorang putra sakya yang rela meninggalkan anak, istri, ayah, dan seluruh kekayaannya demi membebaskan umat manusia dari jurang penderitaan yang tiada hentinya. Buddha itu bukanlah suatu nama diri, tapi gelar yang diberikan kepada seorang yang telah dapat memebebaskan dirinya dari penderitaan.
Seperti agama-agama lainnya, Agama Buddha juga mempunyai kitab suci. Kitab suci agama Buddha dinamakan Tipitaka yang berarti tiga keranjang. Tipitaka secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama diberi nama Vinaya Pitaka (Keranjang Peraturan). Di dalamnya berisikan peraturan-peraturan untuk para bhikkhu dan samanera untuk dijadikan pedoman dalam melakukan suatu perbuatan agar perbuatannya tiak akan merugan dirinya sendiri ataupun mahkluk lain. Bagian yang kedua berisikan tentang Sutta-Sutta (kitbah/wejangan) yang disabdakan olej sang Buddha (Sutta Pitaka). Sedangkan bagian terakhir adalah Abhidhamma Pitaka yang berisikan tentang filsafat, metafisika, dan ilmu jiwa.
Kitab Tipitaka ini ditulis dengan menggunakan bahasa Pali (Maghada) yaitu bahasa yang digunakan oleh Sang Buddha dalam membabarkan Dhamma. Seluruh ajaran Buddh dapat disarikan menjadi satu kata, yaitu; Dhamma (Pali) dan Dharma (Sanskrit/Sansekerta).

TRIRATNA
Triratna/Tiratana adalah suatu bagian yang terpenting dan menjadi dasar agama Buddha. Tiratana terdiri dari dua kata, Ti yang berarti Tiga dan Ratana yang berarti permata. Arti keseluruhannya adalah Tiga Permata Mulia.
Permata yang pertama adalah Buddha, seorang yang telah mencapai penerangan sempurnya dengan kemampuannya sendiri tanpa bantuan mahkluk-mahkluk lain. Ia mempunyai kemampuan untuk menguraikan dan membabarkan pengetahuan kepada mahkluk-mahkluk lain.
Permata yang kedua adalah Dhamma, yaitu ajaran-ajaran yang diberikan dan dibabarkan oleh Sang Buddha.
Permata yang ketiga adalah Sangha, yaitu persaudaraan para pengikut Sang Buddha yang telah melaksanakan Dhamma dengan sempurna dan yang telah mencapai Magga (jalan) dan Phala (hasil). Dapat juga dikatakan persaudaraan para pengikut Sang Buddha yang telah mencapai tingkatan-tingkatan kesucian baik tingkat pertama (Sotapanna), kedua (Sakadagami), ketiga (Anagami), Keempat (Arahat).

1. Untuk dapat mencapai tempat tujuan, seorang buta akan menggunakan tongkat untuk menuntun dan membimbingnya agar tidak tersesat atau memilih jalan yang salah. Demikian juga kita yang masih dalam kegelapan batin ini sangat membutuhkan suatu pegangan yang dapat dijadikan penuntun dan pembimbing yang dapat membawa dan membimbing kita ke jalan yang benar.
Satu-satunya pegangan bagi umat Buddha adalah Sang Tiratana. Sang Tiratana adalah tempat kita bernaung dan berlindung yang paling aman. Tiratana adalah tempat yang sesuai dan tepat bagi kita untuk menanamkan dan mengembangkan keyakinan. Seorang laki-laki yang memegang Sang Tiratana sebagai pelindungnya dinamakan Buddhamamaka. Sedangkan seorang wanita yang memegang Sang Tiratana sebagai pelindungnya dinamakan Buddhamamika.
2. Untuk dapat diakui dan diterima sebagai umat Buddha, seseorang harus mengucapkan Tisanapatha atau Tiga Perlindungan.
Biasanya tiga perlindungan ini diucapkan dengan menggunakan bahasa pali, bukan terjemahannya. Tisaranapatha dalam bahasa pali telah dijadikan suatu ketentuan yang umum, jadi Tisaranapatha dalam bahasa pali saja yang digunakan oleh umat-umat Buddha sedunia. Hanya iramanya sajalah yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.

TISARANAPATHA
BUDDHAM SARANAM GACCHAMI
aku berlindung kepada Buddha
DHAMMAM SARANAM GACCHAMI
aku berlindung kepada dhamma
SANGHAM SARANAM GACCHAMI
aku berlindnung kepada sangha

DUTIYAMPI BUDDHAM SARANAM GACCHAMI
untuk kedua kalinya aku berlindung kepada buddha
DUTIYAMPI DHAMMAM SARANAM GACCHAMI
untuk kedua kalinya aku berlindung kepada dhamma
DUTIYAMPI SANGHAM SARANAM GACCHAMI
untuk kedua kalinya aku berlindung kepada sangha

TATIYAMPI BUDDHAM SARANAM GACCHAMI
untuk ketiga kalinya aku berlindung kepada buddha
TATIYAMPI DHAMMAM SARANAM GACCHAMI
untuk ketiga kalinya aku berlindung kepada dhamma
TATIYAMPI SANGHAM SARANAM GACCHAMI
untuk ketiga kalinya aku berlindung kepada sangha


Note: Ajaran Bagi Pemula. Bandung Sucinno Indonesia. hal 11.

PELAKSANAAN UPACARA VISUDHA

Seseorang menjadi umat Buddha, dengan jalan menyatakan Tiga Perlindungan - Buddha, Dhamma, dan Sangha sebagai pedoman hidupnya. Umat Buddha yang ingin lebih mendapatkan kemajuan dalam mengikuti Sang Jalan, dapat mengajukan dirinya untuk diterima menjadi Upasaka bagi seorang laki-laki dan Upasika sebagai seorang wanita.
Upasaka dan Upasika adalah pengikut-pengikut Sang Buddha yang dengan kemajuan dan kehendaknya sendiri ingin memegang dan melaksanakan Lima Aturan (Pancasila). Pelaksanaan upacara Visudha Upasaka/Upasika harus dilakukan di dalam Vihara/Cetiya. Orang yang berhak untuk menerima umat Buddha menjadi Upasaka/Upasika adalah Bhikkhu.
Jalannya upacara adalah sebagai berikut:
1. Sipemohon mempersiapkan barang-barang persembahan yaitu berupa lilin, hio, bunga (buah-buahan juga, tapi hal ini buka suatu keharusan) untuk dipersembahkan kepada Sang Triratna dan untuk dipersembahkan kepada bhikkhu yang akan memberikan visudhi sebagai guru.
2. setelah semua perlengkapannya disediakan, maka sipemohon memasuki ruangan Vihara/Cetiya, lalu memasang bunga-bunga yang akan dipersembahkan dalam jambangan yang telah disediakan. kemudia menyalakan lilin yang letaknya disebelah kakan Buddha Rupang lebih dahulu, kemudia disusul lilin yang berada di sebelah kiri Buddha Rupang. Setelah menyalakan hio, sipemohon melakukan Namaskara (Sujud dengan lima titik) sebanyak tiga kali. Semuanya ini dilakukan dengan penuh khidmat dan hormat.
3. Bhikkhu yang bertugas sebagai pemberi visudhi menyalakan lilin dan hio. Pada waktu sang bhikkhu melakukan kegitan-kegiatan tersebut di atas sipemohon dan umat-umat yang ikut hadir mengambil sikap anjali dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada.
4. setelah kegiatan-kegiatan (3) diatas dilakukan, maka sekarang sipemohon mempersembahkan lilin, hio dan bungan kepada sang bhikkhu. Lalu melakukan Namaskara sebanyak tiga kali di hadapan sang bhikkhu.
5. Sipemohon mengambil sikap Anjali sambil mengucapkan permohonan untuk diterima menjadi upasaka/upasika dengan mengucapkan kata-kata pali sebagai berikut:
"ESAHAM BHANTE SUCIRA PARINIBNUTAMPI, TAM BHAGAVANTAM SARANAM GACCHAMI, DHAMMANCA BHIKKHU SANGHANCA, UPASAKAM (UPASIKAM) MAM BHANTE HARETU AJJA TAGGE PANEPETUM SARANAM GATAM"
*apabila bhikkhu yang hadir dalam upacara visudha ada empat orang atau lebih, maka sipemohon dapat mengganti kata BHANTE dengan SANGHO.

6. Bhikkhu yang memberikan visudhi memberikan wejangan/kotbah dengan jelas tentang Sang Triratna dan manfaat-manfaat yang akan diperoleh bagi mereka yang berlindung kepada Sang Triratna. Sipemohon harus sering-sering merenungkan sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Dengan perenungan demikian maka segala ketakukan, kegelisahan, kecemasan, dan sebagainya akan menjadi hilang lenyap. Dan keyakinan akan Sang Triratna sebagai pelindungnya akan bertambah.

Disamping itu bhikkhu tersebut juga menjelaskan manfaat-manfaat yang akan diperoleh mereka yang melatih dan melaksanakan lima aturan atau Pancasila Buddhis, mulai dari menahan diri dari pembunuhan mahkluk hidup (Panatipata Veramani), menahan diri dari pencurian atau mengambil barang-barang yang milik orang lain (Adinnadana Veramani), menahan diri dari perbuatan Asusila (Kamesumicchacara Veramani), menahan diri dari berdusta atau berbohong (Musavada Veramani), menahan diri dari minum-minuman yang memabukan (Surameraya Majjapamadatthana Veramani). Manfaat dari pelaksanaan pancasila ini antara lain dapat dilahirkan di dalam surga, mendapatkan kekayaan (dunia dan Dhamma), dan mencapai kebebasan Sejati (Nibbana).

Note: Ajaran Bagi Pemula. Bandung Sucinno Indonesia. hal 13.

SIFAT-SIFAT MULIA SANG TIRATANA

A. Sifat Mulia Sang Buddha

  • Mencapai penerangan sempurna dengan usaha dan kemampuannya sendiri.
Dengan tekad yang bulat dan tujuan yang mulia pangeran Sidharta melakukan suatu cara bertapa yang keras sekali, akan tetapi hal itu belum dapat membawa beliau ke arah kebebasan yang sejati. Beliau juga telah berguru kepada beberapa orang guru yang sangat terkenal pada waktu itu, akan tetapi hal itu masih belum juga membebaskan beliau dari penderitaan.
Akhirnya dengan menggunakan caranya sendiri beliau melatih meditasi dengan tekun sehingga beliau dapat memutuskan belenggu yang mengikatnya, belenggu yang membuat beliau terbawa oleh arus kelahiran yang tiada hentinya (tumimbal lahir). Jadi Sang Buddha mencapai penerangan sempurna bukan karena pelajaran yang telah diberikan oleh Gurunya, dan bukan karena suatu kekuatan lain.
Hal ini dijelaskan oleh Sang Buddha sendiri:
"Bukan karena keturunan seorang menjadi suci, bukan karena kata seseorang menjadi suci; akan tetapi karena perbuatanlah seseorang menjadi suci."
"Tak seorangpun yang dapat menyucikan orang lain, kesucian datang dan mulai dari diri sendiri"

  • Mengajarkan dan membabarkan pengetahuan yang telah dicapainya.
Karena cinta kasihNya yang begitu besar kepada semua mahkluk, maka Beliau mengajarkan dan membabarkan apa yang telah dicapaiNya. Dari satu esa ke desa lainnya Beliau mengajarkan Dhamma tanpa mengenal lelah sedikitpun. Walaupun banyak rintangan dengan penuh ketabahan, bagaikan seekor gajah yang telah berangkat ke medan laga. Hal itu dilakukaanNya tidak kurang dari empat puluh lima tahun

B. Sifat Mulia Sang Dhamma
  • Merupakan Hukum Kesunyataan
Dhamma adalah suatu hukum yang tidak dapat dielakan oleh setiap mahkluk. Dhamma ini tidak akan dapat berubah oleh karena pengaruh waktu, tempat maupun keadaan. Sesuatu yang terbentuk pasti akan mengalami perubahan, kelapukan, dan kematian. Ini tidak hanya terjadi pada waktu lampau saja, akan tetapi juga terjadi pada waktu sekarang, bahkan akan tetap terjadi pada waktu yang akan datang. Tidak hanya terjadi di desa-desa akan tetapi juga akan terjadi di kota-kota. Tidak hanya menimpa orang-orang miskin saja, akan tetapi juga menimpa orang-orang kaya.
  • Melindungi Mereka yang melaksanakannya.
Sebatang pohon yang beracun akan menghasilkan buah yang beracun. Demikian juga dengan diri kita ini, bila kita berpikir, berbkata dan berbuat dengan pikiran yang penuh dengan keserakahan, kebencian, dan kebodohan maka penderitaanlah yang akan kita peroleh sebagai hasilnya. Seperti apa yang pernah disabdakan oleh Sang Buddha:
"Sesuai dengan benih yang ditanam, begitulah buah yang akan diperoleh/dipetiknya. Pembuat kejahatan akan memperoleh penderitaan sebagai hasilnya, sedangkan pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan".

C. Sifat Mulia Sang Arya Sangha.
  • Memiliki Tindak-Tanduk yang benar.
Memiliki tindak-tanduk yang benar bukan berarti hanya memeiliki perbuatan yang benar saja, akan tetapi mereka juga memiliki ucapan yang benar serta pikiran yang benar. Singkatnya mereka memiliki kesucian lahir maupun batin. Mereka sudah tidak mungkin melakukan sesuatu dengan dorongan nafsu, keserakahan, kebencian dan kebodohan lagi. Mereka berbuat sesuatu bukan hanya untuk kepentinganNya sendiri tetapi demi kesejahteraan dan kebahagiaan mahkluk-mahkluk lain.
  • Membimbing dan Menuntun Mahkluk-Mahkluk Lain.
Setelah Sang Buddha Parinibbana, maka para Arya Sangha itulah yang menjadi pelindung dan penerus ajaranNya. Merekalah yang membimbing kita dalam mengikuti serta mempraktekan Dhamma. Merekalah yang menuntun kita untuk dapat memahami, mengerti dan mempraktekan Dhamma secara benar.

Note: Ajaran Bagi Pemula. Yayasan Bandung Sucinno Indonesia. Hal 9

APAKAH KESADARAN ITU?

Kesadaran, sekalipun dipuji tinggi dan dapat mencapai buah yang besar bukanlah suatu keadaan mistik diluar pengetahuan yang dapat dicapai oleh tiap-tiap manusia. Akan tetapi adalah sebaliknya, yaitu suatu hal yang sangat sederhana dan biasa serta sangat dikenal oleh kita semua. Dalam penjelmaannya mula-mula dikenal dengan nama perhatian, yaitu salah satu pekerjaan pokok dari kesadaran, tanpa itu, tidak akan ada pengelihatan dari sesuatu benda sama sekali. Kalau suatu materi indera menimbulkan getaran yang cukup kuat, maka timbullah perhatian yang merupakan keadaan itu. Sebagai pengelihatan pertama dan kesadaran terpendam atau subconcioussness (suatu fungsi menurut Abhidhamma) yang kerap kali bekerja selama waktu sadar di dalam kehidupan.

Fungsi dari benh kesadaran ini atau perhatian pertama merupakan suatu proses yang masih sangat sederhana, akan tetapi kepentingannya bersifat menentukan oleh karena tumbuh pertama-tama dari kesadaran yang terpendam (subconscoussness).

ari tingkatan pertama dalam proses pengalaman, maka sudah tentu hanya didapat gambaran yang sangat umum dan tidak nyata dari materi atau benda-benda tersebut. Kalau terdapat latihan lebih lanjut terhadap benda-benda tersebut maka dorongan panca indera cukup kuat; perhatian akan lebih mendalam itunjukan kepada bagian-bagian yang lebih kecil. Perhatian itu tidak hanya di tunjukan kepada sifat bermacam-macam dari benda itu saja, akan tetapi juga kepada hubungan dari pengelihatan yang sekarang dengan pengelihatan yang sama yang diingat diwaktu yang lampau dan dengan jalan itu, maka terjadilah koordinasi antara pengalaman-pengalaman itu. Tingkatan ini disebut di dalam ilmu jiwa "berpikir atas dasar assosiasi". Itu menunjukan kepada kita hubungan tetap erat antara pekerjaan pikiran dan perhatian. Hal tersebut akan menerangkan apa yang di dalam bahasa Pali dalam buku-buku agama Buddha, disebut dengan suku kata, yaitu satti yang terdiri dari dua fungsi dengan tidak ada ingatan atau perhatian terhadap suatu benda, maka akan terdapat kejadian-kejadian yang berdiri sendiri, seperti halnya dengan pengelihatan bintang-bintang.

Karena hubungan pikiran dari satu dengan yang lain, maka langkah selanjutnya yang penting di dalam memperkembangkan pikiran, diambil dari: sifat umum yang ada pada pengalaman-pengalaman, yakni kecakapan melihat sifat umum yang disebut berpikir secara abstrak. Untuk tujuan itu, maka hal tersebut kita muat di dalam tingkatan kedua dari pengelihatan yang terjadi karena perkembangan perhatian. Kita telah mendapatkan 4 sifat dari wujud tingkat kedua ini: yakni bertambahnya soal yang kecil-kecil, perhubungan dengan yang melihat, sifat assosiasi, sifat abstrak.

Sebagian besar dari pada kehidupan pikiran umat manusia diwaktu sekarang ini, berada dalam tingkatan kedua. Hal itu meliputi lapangan yang sangat luas: dari pengelihatan yang sangat teliti terhadap kejadian-kejadian setiap hari. Pelaksanaan suatu pekerjaan dengan segala perhatian sampai pada penyelidikan yang dilakukan oleh ahli pengetahuan dan juga pikiran-pikiran luhur dari para filsafat. Disini sudah tentu pengelihatan tersebut bersifat lebih teliti dan lebih banyak ragamnya, akan tetapi tidak mesti bersifat lebih dapat dipercaya. Hal itu sedikit  atau banyak masih bercampur dengan hubungan-hubungan yang keliru atau bercampur dengan hal-hal lain. Dengan segala purbasangka perasaan serta pikiran, keinginan dan sebagainya, dan terutama karena sebab-sebab pengertian yang palsu; umpamanya pendapat-pendapat atau anggapan-anggapan bahwa sifat benda itu abadi atau anggapan aku yang abadi. Karena faktor-faktor ini semua, maka pengelihatan biasa sama sekali tidak dapat dipercaya, demikian juga pendapat tentang hal tersebut. Pada tingkatan kedua, sehingga besar dari mereka sendiri secara teratur. Pada tingkat selanjutnya dalam perkembangan perhatian, maka kita memasuki lapangan kesadaran yang besar. (Samma Sati). Ini disebut benar karena mengajarkan kepada kita untuk berbuat hal-hal yang benar dengan menggunakan cara yang benar pula, dan pula memberikan tujuan benar seperti yang telah ditunjukan oleh Sang Buddha: lenyapnya penderitaan.

Tujuan dari pengelihatan dan pikira seperti dikemukakan oleh kesadaran yang benar berjalan terus melalui proses pemberian yang disertai dengan penyelesaian yang sungguh-sungguh dan oleh karena itu merupakan bahan yang dapat dipercaya untuk menentukan sesuatu hal secara teoritis dan untuk menentukan secara praktis soal-soal yang bersifat sila-sila. Pengelihatan yang tidak berubah bentuknya dan sifatnya nyara akan merupakan dasar yang sehat guna mengadakan meditasi menurut ajaran Sang Buddha, yaitu untuk memandang segala gejala sebagai tidak kekal yang menimbulkan penderitaan dan tanpa aku. Nyatalah, maka tingkatan yang tinggi dari sesuatu yang diterima oleh kesadaran yang benar adalah bersifat dekat dan bagi pikiran yang tidak terlatih haruslah berada pada keadaan itu. Seperti yang ditunjukan oleh cara Satipatthana, kesadaran yang benar dapat tumbuh menjadi sangat dekat dan biasa, sebab seperti telah kita ketahui di atas bahwa akarnya terdapat di dalam pekerjaan pikiran yang sangat biasa dan sangat mudah.

Pikiran yang belum mengerti pekerjaan yang sangat seperti pada kedua tingkatan dalam perkembangannta yang rendah; fungsi-fungsi ini adalah menimbulkan kejernihan yang selalu bertambah besar dan kesadaran yang sangat kuat memberi gambaran yang nyata yang selalu dibersihkan dari segala kepalsuan.

Kita telah memberi secara singkat tentang revolusi dari proses-proses batin sebagai tercerminkan oleh tingkatan-tingkatan yang nyata dan oleh pengertian yang berbeda kwalitasnya; dari tidak sadar sampai ke kesadaran; dari pengelihatan-pengelihatan pertama-tama yang tidak jelas terhadap benda sampai ke pengelihatan yang jauh dan yang mengandung pengetahuan yang lebih teliti dari benda itu; dari pengelihatan yang tidak sempurna, tidak teliti dan berpurbasangka menjadi pengelihatan terang, karena adanya kesadaran yang benar. Sekarang kita telah mengetahui, bahwa di dalam segala tingkatan ini, kekuatan dan kwalitas itu bertambah besar, dengan memakai kesadaran yang pada hakekatnya bersifat alat untuk mendapatkan perubahan yang menuju kepada tingkatan yang lebih tinggi. Kalau pikiran manusia menghendaki penyembuhan dari penyakit sekarang ini dan menghendaki jalan yang menuju kepada kemajuan lebih lanjut, maka harus dimulailah dengan menggunakan dan melalui pintu gerbang yang disebut kesadaran itu.

Note: Meditasi I, Penerbit Vajra Dharma Nusantara. Hal 18.

KESADARAN YANG BENAR ADALAH PUSAT DARI AJARAN SANG BUDDHA TENTANG PIKIRAN

Segala apa yang dimaksud oleh pelajaran Sang Buddha dan apa yang disebut sebagai inti dari pelajaran pikiran ini tersimpul dalam ucapan: "Sadarlah". Inilah yang mengisi kotbah Sang Buddha tentang dasar kesadaran (Satipatthana Sutta). Ucapan ini sudah tentu membutuhkan keterangan tambahan dari pertanyaan-pertanyaan "Sadar untuk apa?" dan "Bagaimana caranya?" Jawaban ini diberikan dalam Sutta sendiri. Didalam tafsiran kuno dan di dalam keterangan yang singkat, penjelasan seperti berikut.

Kalau kita telah membicarakan ilmu pikiran tersebut diatas sebagai titik permulaan, sebagai puncak dari pelaran Sang Buddha, maka kita dapat menambahkan, bahwa kesadaran yang benar tersimpul di dalam "ilmu pikiran" Sang Buddha.

Maka kesadaran adalah:
Kunci pokok yang tepat untuk mengenal pikiran an itulah yang merupakan titik permulaan, adalah alat yang sempurna untuk membentuk pikiran yang sempurna dan itulah pusat pelajaran.
Adalah, pertanyaan yang luhur dari kemerdekaan yang telah dicapai oleh daya pikiran dan itulah puncak tertinggi.

Oleh karena itu, dasar kesadaran (Satipatthana) adalah benar kalau diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jalan (Ekayano Magga) satu-satunya.

Note: Meditasi I, Vajra Dharma Nusantara hal 17.

PELAJARAN TENTANG PIKIRAN ADALAH POKOK PELAJARN SANG BUDDHA

Sifat dari puncak kebijaksanaan manusia, pelajaran Sang Buddha tidak membicarakan sesuatu hal yang asing, yang jauh, yang bertentangan, akan tetapi membicarakan yang dianggap biasa, lumrah oleh semua umat manusia dan selalu mudah, semua dengan kenyataannya dan terdekat kepada kita, lebih dekat daripada tangan dan kaki kita, yaitu pikiran manusia.

Didalam ajaran Buddhis, pikiran itu menjadi pokok permulaan dan pusat perhatian; begitu adanya pikiran seorang sutji, yang telah bebas dan bersih, merupakan puncak perkembangannya.
Adalah suatu kenyataan yang penting dan perlu untuk dipikirkan bahwa kitab lain mulai dengan perkataan-perkataan. Pada permulaan Tuhan menciptakan langit dan bumi....., sedangkan Dhamma pada salah satu buku kitab suci Agama Buddha yang terindah dan tersohor, mulai dengan kata-kata: pikiran mendahului benda-benda, menguasai mereka itu, menciptakan mereka itu (Terjemahan Bhikkhu Kassapa). Kata-kata yang penting ini adalah jawaban Sang Buddha yang suci dan tak dapat diubah terhadap kepercayaan lain. Disini jalannya ke agama itu berpisah yang satu membawa orang ke dalam tempat yang jauh sekali dan yang lain menuju kerumah, yaitu hati manusia sendiri. Pikiran adalah sangat dekat pada kita, sebab dengan pikiran saja, kita sadar akan apa yang kita sebut dunia luar, termasuk juga badan kita. kalau pikiran dapat dipahamkan, semua bena dapat dimengerti, demikian kata pelajaran Buddhis (Ratnamegha Sutra).

Pikiran adalah kekuatan dari segala kebaikan dan kejahatan yang timbul di dalamnya pun menimpa diri kita dari luar. Hal ini diterangkan dengan tempat di dalam dua syair yang pertama dalam kitab Dhammapada, dan diantara contoh-contoh terdapat perkataan Sang Buddha sebagai berikut;

"Adapun yang jahat, yang berhubungan dengan kejahatan, tergolong kejahatan semua keluar dari pikiran".
"Apa saja yang baik, yang berhubungan dengan kebaikan, tergolong kebaikan semua timbul dari pikiran"
(Anguttara Nikaya I).

Karena itu jika dengan teguh kita meninggalkan jalan yang membahayakan itu, dunia akan tergolong dari krisisnya yang sekarang ini. Dan seharusnya perlu orang menengok kedalam batinnya, yaitu di dalam pikiran, maka suatu kekacauan di tapal batas itu sekonyong-konyong akan mengatur diri sendiri disekitar sumber tersebut dan mendapatkan kekuatan serta kejernihan kembali.

Kekacauan atau tata tertib di dalam masyarakat sesuai dan mengikuti tata tertib serta kekacauan di dalam pikiran. Ini bukan berarti, bahwa manusia yang menderita harus menanti timbulnya abad kecemasan, dimana semua orang akan menjadi baik.

Pengalaman dan sejarah menunjukan kepada kita bahwa suatu jumlah kecil manusia yang benar-benar baik, yang mempunyai ketegasan dan pikiran yang jernih dibutuhkan untuk membentuk pusat kebaikan dimana sekitarnya akan terkumpul mereka yang tidak mempunyai keberanian untuk memberi pimpinan. Akan tetapi, bersedia untuk mengikutinya. Sejarah baru-baru ini membuktikan adanya hal-hal yang sama, bahkan yang lebih besar daya penariknya yang dapat dikerjakan oleh kekuatan kejahatan. Akan tetapi ada salah satu hiburan di dalam dunia ini, yang tidak menggembirakan, yaitu bahwa bukan saja kejahatan, akan tetapi juga kebaikan dapat berkembang menunjukkan kesuburannya. Kalau kita mempunyai keberanian untuk mencoba.

"Dengan demikian maka pikiran kita harus diterapkan sebagai sumber atau akar dari kebaikan. Pikiran kitalah yang harus digenangi dengan hujan kenyataan. Pikiran kitalah yang harus disucikan dari segala sifat-sifat yang merintangi. Pikiran kitalah yang harus diperteguh oleh kekuatan". (Gandaviyuha Sutra).

Demikianlah pesan Sang Buddha ini justru berisi pertolongan yang dapat diberikan pada pikiran. Tidak seorangpun selain beliau, yang telah memberikan pertolongan yang sempurna, mendalam dan baik sekali. Hal itu disini dipertahankan dengan segala kehormatan, karena sifat pelajaran beliau menyembuhkan dan karena buah-buah pikiran yang telah didapatkan oleh ilmu jiwa modern bersifat analisis di dalam segala bentuknya, terutama sekali yang diuraikan oleh sarjana C. G. Yung yang tersohor; pelajaran ini telah memberi dorongan baru yang tertentu untuk mengakui kepentingan unsur-unsur dalam agama dan untuk menghargai kebijaksanaan timur. Pengetahuan ilmiah tentang pikiran dapat dianggap sebagai tambahan yang baik di dalam soal-soal yang praktis dan bersifat teoritis bagi pelajaran Sang Buddha. Ilmu jiwa dapat menjalin pelajaran yang terakhir di dalam bahasa modern. Ilmu dapat memudahkan pemakaiannya untuk menyembuhkan sesuatu pribadi dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan dalam jaman kita ini. akan tetapi dasar-dasar pokok dari dasar pelajaran Buddhis tetap berlaku dan tetap berkuasa. Mereka tidak berkurang karena waktu dan karena paham-paham ilmiah. Ini disebabkan oleh karena keadaan yang pokok, bahwasanya manusia selalu berulang (yaitu; tumimbal lahir, sakit, umur tua, mati, kelamin, dan kehidupan berumah tangga, mencari makanan, kecintaan dan kekuasaan) tak ada berhentinya, kenyataan-kenyataan dasar tentang badan dan pikiran manusia pada pokoknya akan tetap tidak berubah untuk jaman yang akan datang. Faktor-faktor tetap ini, kejadian-kejadian istimewa di dalam hidup manusia harus selalu merupakan titik permulaan dari tiap-tiap ilmu tentang pikiran manusia, untuk permulaan dan usaha untuk membimbingnya.

Pelajaran Buddhis didasarkan atas pengertian yang kurang terhadap kedua faktor itu dan hal inilah yang memberikan sifat kekekalannya yang selalu bersifat modern, yang tidak berkurang dan selalu berguna. Sang Buddha dalam pelajaran tentang pikiran mengajarkan 3 hal, yaitu;

  1. Tentang mengenai pikiran yang sangan dekat pada kita.
  2. Tentang membentuk pikiran yang sukar diatur dan tidak mudah tunduk, akan tetapi dapat dibuat sangat taat.
  3. Tentang membebaskan pikiran yang mengikar segala-galanya, akan tetapo dapat dimerdekakan kembali, disini, dan sekarang.
Apa yang dapat di katakan segi teori dari pelajaran Buddha ini dapat digolongkan menjadi bagian pertama dari tiga hal tersebut. Hanya yang diperlukan untuk tujuan yang praktis dan penting akan dibicarakan.

Note: Meditasi I, Vajra Dharma Nusantara, Hal 13.