jejak ajaran Buddha

jejak ajaran Buddha

SPACE IKLAN

SPACE IKLAN

Translate

Rabu, April 18, 2012

Konfusianisme and Tao


Dalam Bahasa Indonesia
Taoisme merupakan agama yang sudah ada sejak ribuan tahun, lebih tua dari buddhisme dan hinduisme. Taoisme menjadi agama yang diyakini secara turun temurun dan dipegang kuat oleh masyarakat China. Buddhisme masuk ke negara China untuk menyebarluaskan agama bukan masalah yang mudah. Buddhisme harus mampu mengadaptasikan ajaran Buddha terhadap Taoisme. Bertujuan agar Buddhisme dapat diterima oleh masyarakat China. Bahkan Buddhisme harus menambahkan suatu kitab dan menyamakan dewa-dewa dengan Taoisme. Konsep karma yang diajarkan Buddhisme diadaptasikan kepada konsep Taoisme. “Buddhist karma was adapted to Taoism”. Bahwa konsep Buddhisme mengenai karma tidak sejalan denga Taoisme. Taoisme menyatakan bahwa didalam kehidupan setelah kematian terdapat dewa yang mencatat perbuatan manusia. “In heaven there are spirits that take  account of man’s transgressions, and, according to the lightness or gravity of their offences, take away from their term of life”. Segala tindakan manusia yang baik dan buruk dicatat oleh dewa dari masa kelahiran sampai ajal menjemput. Hukuman tergantung dari tindakan jahat yang disesuaikan dengan berat atau tidaknya pelanggaran yang dilakukan. Bahkan, terdapat buku tindak pidana oleh para dewa.
Konsep Buddhisme dalam Negara China apabila dipandang dari ajaran Sang Buddha sendiri tidak sesuai. Meskipun Buddhisme menjelaskan di Alam Dewa terdapat kerajaan atau pemerintahan yang dipimpin oleh dewa. Sang Buddha tidak menjelaskan para dewa melakukan penghukuman terhadap orang yang melakukan kesalahan. Hukuman kepada mahkluk diatur oleh hukum alam (kamma niyama). Begitu juga dengan neraka, tidak ada yang namanya penjaga neraka dan raja alam neraka yang menghukum mahkluk di neraka.

In English=
 Taoism is a religion that has existed since thousands of years older than Buddhism and Hinduism. Taoism was the religion which is believed to be hereditary and strongly held by the people of hina. Buddhisme entered China to spread the religion of the country is not an easy problem. Buddhism should be able to adapt Buddhism to Taoism. Buddhism aims to be acepted by the people of China. Buddhism even have to add a book and equalize with the Taoist gods. Buddhism teaches the concept of karma is adapted to the oncepts of Taoism. "Buddhist karma was adapted to taoism". That the Buddhist onept of karma is inconsistent premises Taoism. Taoism suggests that in life after death there is a god that reord human actions. "In heaven there are spirit that take acount of man's transgressions and according to the lightness or gravity of their offeness, take away their term of life". All human action is good and bad times recorded by the gods from birth until death. The penalty depends on the actions of evil or not adapted to severe violations. In fact, there is a crime book by the gods.
The concept of Buddhism in China the country is seen from the teaching of the Buddha him self did not fit. Although Buddhism are explained in the Nature Gods Kingdom or a goverment led by the gods. The Buddha did not say the gods make the punisment of these who make mistakes. penalty to the creature governed by the laws of nature (Panca Niyama). So is the hell, there's no such thing as hell, and the king's guards to punish hell beings in hell.

Referensi
Fellows, Ward J. 1998. Seven Theory of Religion. New York; Oxford Universuty Press.

KETERLIBATAN SOSIAL BUDDHISME DALAM MASYARAKAT THAILAND



ENGAGED BUDDHISME

A.    Pendahuluan
Buddhisme yang dipandang oleh kebanyakan orang adalah agama yang mementingkan indiviualisme. Akan tetapi, keterlibatan sosial Buddhisme dalam masyarakat itu penting. Secara alamiah, manusia tidak dapat hidup secara individu dan harus bersosialisasi dengan sekitar. Pandangan mengenai keterlibatan sosial Buddhisme dalam masyarakat ada dua. Pertama, menyatakan bahwa keterlibatan sosial Buddhisme dalam masyarakat sudah ada sejak jaman Buddha. Peryataan tersebut banyak dikemukakan oleh cendekiawan Buddhis. Kedua, keterlibatan sosial Buddhisme tidak ada dalam sejarah Theravada, Mahayana, dan Vajrayana, tetapi dibentuk oleh umat Buddha modern untuk memecahkan masalah sosial pada zaman modern. Pandangan kedua dikemukakan oleh para sarjana barat.
Keterlibatan sosial Buddhisme dalam hal ini digunakan untuk memecahkan masalah sosial, seperti; ketidakadilan, kekerasan dalam lingkungan, ekonomi, politik, dll. Penyelesaian masalah sosial dikemukakan oleh dua orang bhikkhu dari Thailand yang menjelaskan tentang keterlibatan sosial Buddhisme, yaitu; Bhikkhu Dhammadasa dan Bhikkhu Phra Brahmagunabhorn. Kedua pandangan berbeda mengenai keterlibatan sosial masyarakat Thailand dan secara luas juga menyangkut masalah di dunia. Demikian peper yang penulis ajukan untuk membahas mengenai keterlibatan sosial buddhisme menurut dua orang Bhikkhu terkenal di Thailand.
B.     Pembahasan
1.      Pandangan Bhikkhu Dhammadasa.
Bhikkhu Buddhadasa adalah pendahulu bhikkhu Thailand yang percaya bahwa keterlibatan buddhisme secara sosial adalah dasar asli dari Agama Buddha. pandangan Buddhadasa didasarkan pada konsep Idappaccayata. Idappaccayata adalah hukum yang saling bergantung. Tidak ada orang, hal, bagian, element, atau partikel yang berdiri sendiri, kesemuanya saling bergantung satu sama lain. Mulai dari partikel sampai alam semesta, semuanya saling bergantung.
Menurut Buddhadasa sosialisme digunakan dalam etika bermasyarakat yang berlainan dengan egoisme. Sosialisme berhubungan dengan masyarakat dan kepentingan masyarakat. Buddhadasa memberi contoh pada sifat Bodhisatva yang suka menolong orang lain, bahkan mengorbankan dirinya untuk masyarakat.
Buddhadasa menjelaskan bahwa dhamma atau hukum alam memiliki tujuan sosial (sosialisme dhamma). Tidak ada keberadaan secara bebas dan berdiri sendiri, karena segala sesuatu di alam semesta saling bergantung sesuai dengan hukum alam. Seseorang hidup bersama dalam suatu masyarakat dan saling berbagi manfaat, termasuk mengikuti tujuan sosial. Buddhadasa berpendapat bahwa individualisme dan konsumerisme tidak mengikuti kehendak alam. Konsumerisme menjadi paham yang tidak mengikuti jalan tengah (hasta arya magga).
2.      Pandangan Bhikkhu Phra Brahmagunabhorn.
Phra Brahmagunabhorn (PA Payutto) juga salah satu Bhikkhu thailand yang mengambil keterlibatan sosial buddhisme sebagai konsep dasar buddhisme. Phra Brahmagunabhorn menjelaskan mengenai keterlibatan sosial buddhis dalam masyarakat melalui sila dan vinaya. Sila dan vinaya difokuskan kepada individu agar menjadi lebih baik. Dengan demikian, seseorang yang baik akan mempengaruhi kehidupan masyarakat yang baik. Lingkungan masyarakat dimulai dari individu.
Phra Brahmagunabhorn memberikan penyajian yang berbeda mengenai keterlibatan sosial buddhisme melalui sila dan vinaya. Sila adalah sistem yang mengontrol kehidupan eksternal manusia, ekspresi lisan maupun fisik, dan tatanan hubungan dengan orang lain dan lingkungan, terutama hubungan sesama manusia, dengan demikian, memungkinkan pengaturan yang tepat untuk kegiatan sosial, kondisi kehidupan, dan lingkungan masyarakat yang mendorong mereka untuk melakukan perbuatan yang lebih baik.
C.     Kesimpulan.
Buddhadasa dan Phra Brahmagunabhorn setuju bahwa keterlibatan sosial Buddhisme adalah konsep asli dalam Buddhisme. Pandangan Phra Brahmagunabhorn didasarkan pada ajaran sila atau vinaya, Buddhadasa didasarkan pada ajaran “Idappaccayata” atau ajaran yang saling bergantung. Buddhadasa menfokuskan secara mendalam keterlibatan sosial buddhisme pada hukum alam karena hukum ini mau tidak mau menentukan hubungan sosial dalam agama buddha. sedangkan untuk pandangan Phra Brahmagunobhorn, keterlibatan sosial buddhisme didasarkan pada sila dan vinaya yang berkaitan dengan aturan-aturan sosial. Phra Brahmagunabhorn tidak memfokuskan sebagaimana jauh ke dalam hukum alam seperti Buddhadasa. Meskipun demikian, Phra Brahmagunabhorn menerima bahwa Sang Buddha menentukan aturan disiplin dari sila atau vinaya dari pengetahuannya, menembus melalui hukum alam, dan memperoleh hukum itu untuk menetapkan sistem sosial. Namun, Phra Brahmagunabhorn tidak menegaskan ada sosialisme dalam dhamma atau hukum alam sebagaimana yang disampaikan oleh buddhadasa. Menurut penulis sendiri, hubungan dan keterkaitan sosial buddhisme dalam masyarakat sudah tertera pada Sigalovada Sutta. Berisikan tentang hubungan sesama manusia dan lingkungan.
Referensi
Vutthikaro, Samboon. 2010. Global Recovery: The Buddhist Perspective. The Concepts of Socially Engaged Buddhism in Thailand. Thailand: Mahachulalongkornvidyalaya University.

Kamis, April 12, 2012

TRADISI GELUGPA




Buddhadharma atau Buddhisme mulai masuk ke Tibet sekitar abad ketujuh pada masa pemerintahan Raja Songtsen Gampo. Pada abad kedelapan, Buddhisme mulai berakar di Tibet, yaitu pada masa pemerintahan Raja Trisong Detsen. Acharya Padmasambhava dan Abbot Shantirakshita membantu Raja untuk membawa Dharma ke Tibet dan menerjemahkan ajaran-ajaran Buddha ke dalam bahasa Tibet. Semua ajaran dan praktek Buddhisme Tibet berasal langsung dari Buddha Sakyamuni. Tidak dapat dipungkiri bahwa ajaran yang berada di Tibet mempunyai hubungan ke suatu tradisi di India. Vajrayana memiliki 4 tradisi atau silsilah, yakni: Silsilah Nyingmapa, Silsilah Sakyapa, Silsilah Kagyudpa, dan Silsilah Gelugpa.
Padmasambava dari Nalanda Mahavihara yang datang melalui lembah Swat dan tinggal di Tibet hanya 18 bulan dapat menanamkan pengaruhnya dan mendapatkan gelar guru. Dia dapat meyakinkan penduduk Tibet yang percaya pada “roh-roh” yang mereka sebut Bon-pa dengan mengajarkan sistim Vajrayana.
Silsilah Gelugpa berasal dari tradisi Kadampa, yang di ajarkan oleh guru besar dari India, Atisha (982-1054). Para Acaria dari Vikramasila dipimpin oleh Bhikkhu Atissa memperkenalkan agama Buddha berdasarkan pandangan Mahayana dan Tantra. Tsong-ka-pa (1358-1419), seorang pemimpin agama (sangha) yang sekaligus pemimpin negara Tibet yang diletakan oleh Atisha adalah penguasa yang melaksanakan reformasi agama Buddha serta mengorganisir kelompok Gelugpa, memaksakan mereka menerima Vinaya Theravada serta memberikan ciri berupa topi kuning kepada kelompok ini, yang membedakan dari kelopmpok topi merah sebagai kelompok yang mengakui Guru Padmasambava dan yang belum merevolusi maupun kelompok. Topi Hitam yang masih berpedoman pada ajaran Bon-pa. Gelugpa kemudian menjadi kelompok terkemuka di Tibet yang kemudian menetapkan Dalai-lama dan Pachen-lama. Tsong-ka-pa yang bergelar ”Je Rempoche” meninggal dunia sebelum selesainya reformasi yang dilaksanakannya
Silsilah Gelugpa ini didirikan oleh seorang guru besar Tibet, Je Tsongkhapa Lobsang Drakpa (1357-1419). Je Tsongkhapa mendirikan biara Gaden (Drok Riwo Ganden) yang menjadi pusat pengajaran silsilah Gelug. Pimpinan silsilah Gelug disebut dengan Gaden Tripa Rinpoche (pemegang takhta). Yang Mulia Gaden Tripa Rinpoche saat ini adalah Khensur Lungri Namgyel, yang merupakan pemegang silsilah ke 101 dari Gaden Tripa (sejak 2003).
Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Yang Mulia Dalai Lama XIV. Beliau selain sebagai seorang spiritual, juga seorang tokoh politik Tibet yang disengani berbagai pihak, termasuk negara barat. Dalai Lama XIV saat ini hidup di pengasingan, di Dharamsala (India).
Gelug-pa berkembang pada abad xv sebagai pembaharuan terhadap Kahdam-pa yang dipelopori oleh Tsongkapa. Beliau menerima tradisi-tradisi Kahdam-pa dari lama Choskyabzanpo serta mengumpulkan siswa-siswa ahdam-pa dan menguatkan mereka dengan 235 peraturan
The Gelugpa, kadang-kadang hanya disebut sebagai sekolah Topi Kuning, berakar dalam tradisi Kadampa dan dalam reformasi sekolah di bawah Tsongkapa (1357-1419), seorang guru Sakya latar belakang yang lebih suka disiplin, ketat monastik dan yang considred para biarawan Kadampa belum cukup saleh.
Setelah dasar biara Gelugpa 1 (Ganden, TIB., Ri-bo dGa'-ldan) pada tahun 1409 oleh Tsongkapa, para Gelugpa sangat diperluas selama abad ke-15, dengan bangunan benteng lebih banyak monastik:
* 1416 Drepung ('Bras-sprungs)
* 1419 Sera (Se-ra)
* 1437 Chamdo (Chab-MDO) di Kham
* 1447 Trashilunpo (bKra-shis lhun-po) di Tsang
Sekitar 1475, sebuah perjuangan untuk kekuasaan konflik pecah antara Gelugpa dan Drupa Phagmo dan Karmapa divisi dari Kagyudpa. Setelah Dalai Lama 3 pergi untuk mencari bantuan luar dari Mongol (1560) untuk membentuk pemerintahan Gelugpa, oposisi mulai melemah. Namun, sebenarnya konsolidasi kekuasaan Gelugpa datang hanya selama 1642-1659, di bawah Dalai Lama kelima. Ini termasuk penyitaan biara non-Gelugpa dan pembakaran buku-buku yang berasal dari Jonangpa.

Hermeneutik




Latar Belakang
Kita hidup di dunia ini tidak lepas dari penafsiran. Mulai dari penafsiran yang sederhana hingga ke penafsiran yang rumit. Misalkan, kita melihat wajah seseorang yang belum kita kenal untuk pertama kalinya, dalam pikiran kita pasti akan muncul berbagai pendapat mengenai orang tersebut, baik itu pendapat yang baik maupun yang tidak baik. Sebenarnya, bersamaan dengan munculnya berbagai pendapat itulah tanpa sadar kita sudah melakukan suatu penafsiran terhadap objek tersebut. Setiap manusia berbeda cara berpendapat dan cara menafsirkan segala sesuatu. Hal ini juga yang menyebabkan mengapa suatu objek memunyai pengertian yang berbeda-beda. Perbedaan penafsiran tersebut sangat dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing individu. Contohnya, ada seekor kerbau, bagi para peneliti, kerbau adalah makhluk yang sangat kuat, makhluk mamalia, dan sebagainya, ini akan menjadi berbeda jika kerbau tersebut diartikkan oleh petani. Para petani akan mengartikan kerbau sebagai hewan yang sangat membantu mereka, karena kerbau adalah hewan yang bisa difungsikan sebagai penarik bajak. Dari dua contoh itulah maka kita bisa mengatakan bahwa suatu objek itu memunyai sifat yang netral, objek akan menjadi berbeda tergantung subjeknya maing-masing.
Pada zaman dahulu, metode atau cara dalam penafsiran sangatlah sedikit. Hal ini yang menyebabkan kehidupan pada masa itu lebih cenderung bersifat monoton dan ortodok. Di zaman dahulu sebelum tahun masehi, sistem pendidikan hanya bersifat sederhana dan cara yang digunakan baru dengan sisitem oral atau dari mulut kemulut, dan kebanyakan mereka cenderung percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh guru mereka tanpa melakukan suatu verifikasi. Dari situlah maka kehidupan pada masa itu masih sangat kaku dan hanya sedikit memunyai aspek seni. Sistem penafsiran pada saat itu masih sangat sederhana yaitu mereka hanya menafsirkan apa yang terdapat dalam teks-teks tanpa menganalisis secara mendalam.
Banyaknya perbedaan pola pikir dari masing-masing individu, kurangnya metode atau cara dalam menafsirkan segala sesuatu, banyaknya pandangan mengenai cara penafsiran, dan sebagainya menyebabkan kita hanya bersifat pasif dan statis tanpa berani melakukan perubahan yang besar. Sebenarnya apa yang seharusnya kita lakukan untuk mengatasi persoalan tersebut? Dari latar belakang itulah maka penulis akan mencoba membahas mengenai apa yang dimaksud dengan hermeunitik dan apa manfaat kita memelajari hermeneutik dalam kehidupan ini.

Pengertian
Istilah hermeneuitk merupakan salah satu istilah yang berasal dari bahasa Yunani. Kata hermeneuitk sendiri berasal dari kata “hermeneuein” atau “hermenia (KB)” yang diartikan sebagai  “menafsirkan” atau “penafsiran”. Menurut E. Sumaryono dalam bukunya “Hermeneuitk” mengatakan bahwa hermeneuitk sendiri berarti studi tentang teori interpretasi, dan dapat berupa seni interpretasi, atau teori dan praktek penafsiran (Sumaryono, 1999:23). Dalam istilah lain Hermeneuitka[1] (pengucapan Inggris/tɨks hɜrmənju) adalah studi tentang teori interpretasi, dan dapat berupa seni interpretasi, atau teori dan praktek penafsiran. Hermeneuitka Tradisional - yang meliputi hermeneuitka Alkitab - mengacu pada studi tentang interpretasi teks tertulis, terutama teks dalam bidang sastra, agama dan hukum. Sedangkan dalam kontemporer atau modern hermeneuitka tidak hanya meliputi masalah yang melibatkan teks tertulis, tetapi segala sesuatu dalam proses interpretasi. Ini termasuk bentuk verbal dan nonverbal komunikasi serta aspek sebelumnya yang mempengaruhi komunikasi, seperti prasangka, pre-understandings, makna filsafat bahasa, dan semiotika. Hal ini mengandung pengertian bahwa istilah hermeneuitk sangat erat kaitannya dengan bagaimana cara pandang kita terhadap segala sesuatu. Cara pandang masing-masing individu berbeda-beda, hal ini mengharuskan adanya suatu ilmu yang dapat mewadahi dan memberi suatu acuan mengenai bagaimana cara menginterpretasi sesuatu agar esensi yang ada pada hal tersebut tidak hilang. Oleh karena itu munculah konsep mengenai hermeneuitk.
Menafsirkan sesuatu berhubungan dengan proses perubahan. Perubahan yang tadinya belum mengerti menjadi mengerti. Hal ini juga dikemukakan oleh Richard E. Palmer[2] yang menyatakan bahwa istilah hermeneuitk pada akhirnya dapat diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Perubahan tersebut yang mendasari adanya suatu perbedaan yang muncul di setiap individu. Ketika terjadi suatu hal yang memungkinkan kita untuk melakukan suatu perubahan, di situ akan muncul suatu reaksi dan interpretasi dari pikiran kita. Setiap reaksi dan interpretasi yang muncul dalam pikiran kita, belum tentu akan sama dengan reaksi dan interpretasi dari orang lain walaupun kasus yang terjadi sama. Contohnya, ketika dosen laki-laki kita masuk ke kelas dengan memakai baju batik berwarna pink, pasti akan langsung muncul suatu reaksi dalam diri kita baik itu reaksi secara fisik maupun secara mental. Setiap mahasiswa yang ada dalam kelas tersebut masing-masing berbeda cara reaksinya, ada yang tertawa terbahak, ada yang hanya tersenyum, ada yang sampai mengacungkan jari telunjuknya sambil tertawa sampai menangis, dan sebagainya inilah yang disebut reaksi secara fisik. Akan tetapi bersamaan dengan itu muncul pula suatu interpretasi dalam pikiran masing-masing, ada yang berpikir bahwa dosen tersebut seperti banci, dan ada juga yang berpikir bahwa dosen tersebut tidak memunyai baju ganti, inilah yang disebut sebagai reaksi mental.
Dari contoh tersebut membuktikan bahwa masing-masing pemikiran manusia itu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya walaupun kasus yang dihadapai sama. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau Interpretatione[3], ia menyatakan bahwa tidak ada satu manusiapun yang memunyai kesamaan dengan manusia lain baik dalam bahasa lisan atau tulisan. Hal ini memberikan suatu pengertian kepada kita bahwa kita sangat perlu untuk memahami apakah hermeneuitk itu agar kita bisa menyadari setiap perbedaan yang terjadi, dari hal itulah maka diharapkan kita bisa menetralisir keadaan-keadaan yang ditimbulkan dari adanya perbedaan tersebut.

Cara Kerja Hermeneuitk
            Hermeneuitk merupakan suatu ilmu filsafat yang mana setiap ilmu pasti memunyai cara kerja masing-masing. Sebelum membahas mengenai cara kerja dari hermeneuitk terlebih dahulu penulis akan menguraikan mengenai mengapa hermeneuitk itu muncul.
Pada dasarnya setiap objek yang ada itu netral, hanya saja objek tersebut akan menjadi bernilai karena adanya suatu subjek. Subjek disini berperan sebagai sesuatu yang memberi makna terhadap objek tersebut. Objek tidak akan berubah jika tidak ada subjek. Husserl[4] menyatakan bahwa objek dan makna tidak pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, karena pada awalanya objek itu bersifat netral. Maka, subjek sangat berperan dalam munculnya suatu makna. Dari situlah maka mulai muncul suatu ilmu tentang penafsiran akan segala sesuatu yang disebut dengan istilah hermeneuitk. Hal inilah yang menyebabkan munculnya suatu pertanyaan dalam pikiran penulis, sebenarnya, bagaimanakah cara kerja dari hermeneuitk itu sendiri?
Pada dasarnya apabila kita sedang melakukan suatu interpretasi pada sesuatu, tentunya disitu harus didukung oleh adanya syarat yang harus dipenuhi. Ada dua syarat yang harus terpenuhi sebelum orang tersebut melakukan suatu interpretasi. Syarat tersebut ialah syarat secara fisik dan syarat secara non fisik. Syarat fisik yang harus kita penuhi adalah adanya landasan indera yang baik. Pada dasarnya apabila kita melakukan suatu interpretasi disitu membutuhkan alat indera; mata, hidung, telinga, pikiran/otak, dan alat-alat indera yang lain. Contohnya ketika kita melihat suatu objek, disitu kita membutuhkan mata yang baik, dan seterusnya. Syarat yang kedua ialah kita harus terlebih dahulu memunyai pengertian dan pemahaman akan sesuatu yang ingin kita beri interpretasi. Sebenarnya sebelum seseorang melakukan suatu interpretasi terhadap sesuatu, sebelumnya orang tersebut harus benar-benar mengerti dan memahami dengan sesuatu yang ingin di interpretasi tersebut. Apabila kita belum mengerti sekaligus memahami maka yang terjadi adalah interpretasi tidak akan jalan. Mengerti, memahami, dan interpretasi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Apabila kita melakukan interpretasi disitu juga proses mengerti dan memahami berjalan. Hal ini juga dikemukakan oleh E. Sumaryono dalam bukunya Hermeneutik ia menyatakan sebagai berikut:

“Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Namun, keadaan ‘lebih dahulu mengerti’ ini bukan didasarkan atas penemuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab, menurut kenyataannya, bila seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya. Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi menimbulkan ‘lingkaran hermeneutik’.”
           
Pendapat tersebut mengandung pengertian bahwa hermeneutik merupakan suatu proses berpikir yang mana melibatkan dua aspek yaitu aspek fisik dan aspek non fisik. Untuk dapat melakukan hermeneutik kita terlebih dahulu harus mengerti dan memahami objek yang akan kita beri interpretasi. Proses mengerti sendiri merupakan proses pikiran yang sangat rumit. Sebelum timbul suatu pengertian terlebih dahulu kita harus melakukan pengamatan, penafsiran, dan juga evaluasi. Untuk bisa mengamati, melakukan penafsiran, dan evaluasi yang sesuai dengan yang diharapkan terlebih dahulu kita harus memunyai suatu pengetahuan yang benar (correct). Dengan kata lain untuk dapat melakukan suatu interpretasi yang benar kita harus memunyai pengetahuan yang benar pula.
Proses mengerti disini merupakan proses yang terjadi secara alamiah, bukan paksaan, tekanan, dan sebagainya. Orang yang dapat mengerti secara alamiah akan menghasilkan suatu pemahaman yang lebih baik dari pada orang yang mengerti secara paksaan. Contohnya, apabila kita dihadapkan pada suatu masalah hidup, misalnya kita bertemu dengan seseorang yang baru kita kenal, apabila kita paksakan diri kita untuk mengerti orang tersebut dalam jangka waktu misalnya dalam dua hari, maka yang terjadi adalah kita hanya sekedar mengerti dari luarnya saja. Akan tetapi itu akan berbeda jika kita mengerti secara alami, yaitu kita hidup bersamanya dalam jangka waktu yang lama kita bukan hanya mengerti luarnya saja tetapi juga termasuk dalamnya. Begitu juga dengan proses hermeneutik, apabila kita ingin melakukan interpretasi yang baik kita harus benar-benar mengerti dan memahami terlebih dahulu secara keseluruhan.

Penerapan Hermeneuitk
            Dalam hidup ini, hermeneutik sangat kita butuhkan. Bukan hanya dalam konteks ilmu pendidikan saja melainkan pada ilmu-ilmu yang lain. Politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya tidak lepas dari hermeneutik. Proses hermeneutik sangat berperan dalam perubahan hidup kita. Misalkan dari bidang ekonomi, apabila kita tidak berani melakukan suatu interpretasi terhadap sesuatu maka yang terjadi adalah kita hanya akan statis disitu dan tidak mungkin untuk dapat maju dan berkembang. Ini yang mengakibatkan kita akan tersaingi oleh orang lain dan kita akan semakin terpuruk dalam ekonomi kita. Sepertihalnya penjual bakso, apabila ia tidak berani melakukan suatu interpretasi terhadap bakso-bakso yang sudah ada dan ia hanya ikut-ikutan saja dan tidak ingin tampil beda maka yang terjadi adalah ia hanya akan seperti yang lain atau bahkan lebih parah karena ia tidak memunyai pelanggan. Begitu juga dengan dunia yang lainnya. Oleh karena itu hermeneutik sangat apenting dalam hidup ini.
Selain itu, hermeneutik juga bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita hidup tidak lepas dari interpretasi, karena hidup tanpa suatu interpretasi maka hidup kita akan kering. Sepertihalnya kita yang tidak berani melakukan interpretasi terhadap segala sesuatu, kita hanya akan menjadi orang yang biasa-biasa saja. Akan tertapi apabila kita berani melakukan suatu interpretasi terhadap apapun yang ada dihadapan kita, maka kita akan menjadi orang yang sukses dan terpandang. Contohnya para filsuf-filsuf yang ada di dunia ini, seperti Aristoteles, Plato, Buddhaghosa, Nagarjuna, mereka menjadi terkenal, hidup penuh arti, dan sebagainya karena mereka berani mekukan interpretasi terhadap segala sesuatu.
Dalam pembahasan ini ada dua hal yang harus ada ketika kita ingin menerapkan ilmu tentang interpretasi (hermeneutik) yaitu adanya ketepatan pemahaman dan ketepatan penjabaran (Sumaryono, 1999: 29). Ketepatan pemahaman dan penjabaran yaitu ketepatan dalam kita memahami dan menjabarkan sesuatu, apabila kita dapat memahami dan menjabarkan suatu hal dan pemahaman juga penjabaran kita dapat diterima oleh orang lain, pemahaman dan penjabaran kita logis, dan bermanfaat bagi orang lain maka kita sudah dianggap sebagai orang yang mampu memahami dan menjabarkan dengan baik dan benar. Setelah kedua hal tersebut dapat kita penuhi maka kita dapat pula menerapkan ilmu hermeneutik dalam segala aspek kehidupan ini.

Kesimpulan
            Hermeneutik merupakan sebuah ilmu filsafat yang berarti studi tentang teori interpretasi, dan dapat berupa seni interpretasi, atau teori dan praktek penafsiran. Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Adanya ketepatan pemahaman, pengertian, dan ketepatan penjabaran, akan dapat membuat kita bisa melakukan suatu interpretasi yang benar. Ilmu tersebut dapat kita terapkan dalam berbagai aspek kehiduapan ini seperti aspek ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, dan sebagainya. Apabila kita bisa menyelami ilmu tentang penafsiran maka kita akan bisa hidup kritis dan selalu aktif dalam menjalani kehidupan ini tanapa adanya suatu keruwetan yanf dapat membuat kita terjerumus kehal-hal yang negatif seperti salah persepsi yang mengakibatkan terjadinya suatu konflik, peperangan, saling bersitegang, dan sebagainya.

Referensi
Sumaryono, E. 1999. “Hermeneuitk; sebuah Metode Filsafat”. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
http://en.wikipedia.org/wiki/Hermeneutics. diakses selasa, 20 April 2010.




[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Hermeneutics

[2] Dalam buku “Hermeneuitk”  sebuah metode filsafat” karya E. Sumaryono tahun 1999 hal. 24.
[3] De Interpretatione, I.16a. 5
[4] E. Sumaryono, 1999. “Hermeneuitk; sebuah metode filsafat”. Hal. 30.

BUDDHIST TANTRA / VAJRAYANA






Pendahuluan
Vajrayana adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, dan ajaran Buddha eksoterik. Vajrayana merupakan ajaran yang berkembang dari ajaran Buddha Mahayana.
 Dalam ajaran Vajrayana, hubungan antara seorang Guru dan seorang murid amat penting. Seorang murid tidak akan pernah memperoleh pencapaian tanpa bantuan seorang Guru yang berkualitas. Seorang guru bisa saja merupakan seorang Yogi (pertapa) dan seorang Rinpoche. Didalam Vajrayana seorang praktisi tidak dilarang untuk menikah, serta juga tidak diharuskan untuk hidup sebagai vegetarian. Karena pada saat bercocok tanam, banyak juga mahluk yang terbunuh. Hidup sebagai seorang vegetarian tidaklah menjadikan kita suci, tergantung motivasi kita dan perilaku kita dalam berlatih sehari-harilah yang amat menentukan, termasuk perilaku tubuh - perbuatan, Ucapan serta Pikiran kita. Banyak dari Guru Vajrayana yang tidak menikah, namun tidak sedikit juga yang menikah. Namun pasangan dari seorang Guru Vajrayana bukanlah seorang wanita biasa, mereka biasanya merupakan seorang dakini (mahluk suci yang telah memperoleh pencapaian) yang ditugaskan untuk membantu sang Guru dalam memperoleh pencapaian demi kebahagiaan semua mahluk. Seorang guru yang berkualitaslah yang dapat membimbing dan membantu kita dalam mencapai pencerahan, bukan kesaktian. Kualitas seorang guru dapat kita lihat dari riwayat silsilah beliau (kebanyakan merupakan seorang Tulku) serta pengakuan dari pimpinan ke empat aliran (Nyingmapa, Sakyapa, Kagyudpa, Gelugpa).
Dalam tradisi tertentu, sering ajaran diturunkan secara rahasia dari seorang guru kepada seorang murid misalnya ajaran Bisikan Dakini yang di terima oleh Tilopa langsung dari Dakini, yang diajarkan kepada Naropa, kemudian diturunkan secara rahasia oleh Milarepa (yang juga memperoleh bisikan dari Dakini) hanya kepada seorang murid saja, sang murid juga menurunkan hanya kepada seorang muridnya, begitu seterusnya, ajaran ini tidak diberikan kepada umum. Dengan adanya hal-hal seperti ini, sering juga ajaran Vajrayana di kenal dengan ajaran mantra rahasia.
 
Pembahasan
Istilah "vajra" dilambangkan sebagai petir, berlian. Istilah ”tantra” berarti menenun atau alat tenun, sedangkan ”yana” berarti kendaraan. Maka Vajrayana bisa diartikan kendaraan berlian. Aliran ini mengutamakan praktek keagamaan yang bersifat esoteris-mistik yang penuh dengan kegaiban dengan  menggunakan sarana-sarana seperti mudra, dharani, mantra (kata-kata suci yang mengandung kekuatan), dan mandala. Upacara keagamaan yang bersifat mistik berfungsi untuk merealisasi hubungan sempurna kebuddhaan seperti yang dirumuskan dengan istilah Buddha-dalam-diriku, aku-dalam-Buddha.
Ada tiga aspek atau sarana yang digunakan dalam upacara Tantra. Pertama, mudra yaitu jari atau tangan yang berjalin dalam sikap-sikap tertentu. Kedua, dharani yaitu syair mistik dan mantra sabda sejati. Ketiga, dharana yaitu konsentrasi yoga. Selain ketiga aspek tersebut ada unsur lain yang tidak bisa ditinggalkan dalam praktek Tantra adalah mandala, yaitu sebuah lingkaran seperti diagram psiko-kosmos yang didalamnya menggambarkan intisari ajaran Tantra dengan simbol-simbol visual. Mandala terdiri dari empat macam, yaitu:
1.      Maha-Mandala: Gambar tempat kediaman para Buddha dan makhluk agung lainnya.
2.      Samaya-Mandala: gam,bar tempat kediaman para Buddha dan makhluk agung lainnya ditambah dengan benda-benda duniawi.
3.      Dharma-Mandala: Berbentuk aksara, melambangkan para dewa dan para ariya lainnya.
4.      karma-Mandala: Gambar dari figur-figur buatan misalnya arca.
Tantra juga menyatakan bahwa alam semesta seluruhnya terdiri dari dua elemen atau konstitusi yang saling melengkapi, yaitu unsur rahim bersifat mental dan pasif (garbha-dhatu) dan unsur berlian yang bersifat materi dan aktif (vajra-dhatu). Dua unsur ini merupakan prinsip Prajna dan Karuna atau Upaya. Prajna dan Upaya merupakan unsur-unsur yang tidak dapat terpisahkan dari energi pria dan wanita; dinamis dan statis,aspek-aspek realitas yang tidak dapat dipisahkan dalam mencapai pencerahan yang dipersatukan dalam praktek yoga. Proses pemyatuan energi psikofisik terjadi dalam tahapan mental hingga kesadaran tertinggi sebagai suatu metode dalam menggapai pencerahan (nirvana) maka bagi praktisi pemula sangat perlu seorang guru pembimbing.
Vajrayana juga memiliki yoga-yoga rahasia, yaitu :
  1. Yoga Dewa
Praktik Vajrayana yang paling mendasar dimana dengan memvisualisasikan diri sebagai Buddha. Tujuannya yaitu agar pelaku meditasi dapat memurnikan dirinya dengan melenyapkan kilesa dan melaksanakan kasih sayang dan kebijaksanaan. Kalachakra mendefinisikan praktik Tantra utama dapat diringkas dalam "Empat kemurnian":
Ø  Melihat tubuh seseorang sebagai tubuh dewa
Ø  Melihat lingkungan seseorang sebagai tanah murni atau mandala dewa
Ø  Kesenangan sebagai kebahagiaan dewa
Ø  Suatu tindakan hanya untuk kepentingan orang lain (motivasi bodhichitta)
Citra dan ritual dalam yoga dewa: representasi dewa, seperti patung-patung (Murti), lukisan (thangka), atau mandala, sering digunakan sebagai bantuan untuk visualisasi, dalam yoga Dewa.
  1. Yoga Guru
Dapat dipahami sebagai suatu proses dimana aliran pikiran praktisi tantra menyatu dengan aliran pikiran guru. Guru bergerak sebagai manifestasi dari seorang Buddha. Maka guru spiritual sangat penting sebagai panduan selama latihan tantra, karena tanpa teladan mereka, berkat dan rahmat, kemajuan tidak mungkin dapat diperoleh.
  1. Yoga Kematian
Praktek yoga ini membawa badan ke jalan kematian, keadaan antara (bardho), dan kelahiran kembali dan merupakan aspek terpenting dalam aspek tantra yang diprektekkan selama hidup, dan dalam meditasi.
Ø  Klasifikasi Tantra
Beberapa aliran Tantrayana dapat dibagi menjadi tiga jenis:
a.       Vajrayana : mendirikan istilah simbolis yang akan mencirikan segala bentuk tradisi.
b.      Sahajayana : didominasi berambut panjang, mengembara yang secara terbuka menantang dan mengejek pembentukan Buddha.
c.       Kalachakrayana : dihapus dari tradisi Buddha sebelumnya, dan menggabungkan konsep mesianisme dan astrologi tidak hadir di tempat lain dalam literatur Buddhis.
Secara tradisional dibedakan adanya empat Tantra Tibet:
a.       Kriyatantra : bersifat peupacaraan dan bhakti, keyakinan lebih menonjol daripada Prajna
b.      Caryatantra : Keyakinan dan prajna seimbang
c.       Yogatantra : proses kontemplatif dan analitik lebih berkembang, serta tumbuhnya perasaan kesamaan
d.      anuttarayogatantra : penyadaran mistik akan kenyataan bahwa nirvana dan samsara itu identik, yang memuncak dalam kesamaan mutlak.
Di Tibet, Tantra terbagi ke dalam beberapa aliran :
a.       Nyingmapa: merujuk pada Buddha Samantabhadra, Vajrasattva, dan Garab Dorje dari Uddiyana. Sosok yang paling penting dalam Nyingma adalah maha guru dari India Guru Padmasambhava, sebagai pendiri dari silsilah Nyingma, yang datang ke Tibet di abad kedelapan.
b.      Sakyapa : dimulai dari seorang yogi besar India, Virupa (abad ke-9),yang memiliki pencapaian serta dapat melakukan berbagai keajaiban.
c.       Kagyudpa : dimulai dari Mahasiddha agung Tilopa (988-1069), yang mengembangkan wawasan spontan. Pencapaian ini diperoleh melalui methoda yang diajarkan oleh Buddha Sakyamuni.
d.      Gelugpa : berasal dari tradisi Kadampa, yang di ajarkan oleh guru besar dari India, Atisha (982-1054).

Kesimpulan

            Vajrayana merupakan ajaran yang berkembang dari aliran Mahayana. Aliran ini mengutamakan praktek keagamaan yang bersifat mistik dengan menggunakan sarana seperti mudra, mantra, dharani, serta mandala. Dalam Vajrayana untuk mencapai pencerahan dilakukan melalui praktek yoga dan penyatuan antara prajna dan upaya. 

BUDDHISM IN JAPAN



Introduction
Jepang merupakan negara yang kaya akan berbagai macam kebudayaan. Banyak ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jepang yang berhubungan dengan keadaan masyarakat dan lingkungannya. Budaya minum teh, budaya merangkai bunga, dan sebagainya adalah beberapa contoh yang menandakan begitu kaya negara tersebut akan budaya. Selain budaya, negara tersebut juga terkenal dengan sistim keagamaannya. Salah satu agama yang berkembang di Jepang adalah agama Buddha. Dilatarbelakangi oleh kepercayaan masyarakat Jepang yang sangat menjunjung tinggi tradisi-tradisi dan upacara-upacara, maka agama buddha yang notabenya tidak melarang tradisi dan upacara-upacara dapat dengan cepat berkembang di negara tersebut. Akan tetapi dengan semakin maju dan berkembangnya kondisi masyarakat di Jepang, agama Buddha juga mengalami perubahan-perubahan yang cukup signifikan. Munculnya sekte-sekte, aliran-aliran, dan agama baru merupakan sebab dari semakin berkembangnya pola pikir masyarakat Jepang waktu itu. Selain itu, banyak pula perubahan-perubahan lain yang terjadi di tubuh agama Buddha sendiri. Akan tetapi, mengapa agama Buddha di Jepang dapat mengalami perubahan tersebut? Apakah yang menjadi faktor terjadinya perubahana tersebut? Dari pernyataan itulah dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai agama Buddha di Jepang, bagaimana sejarahnya, bagaimana kondisi agamanya, dan apa saja sekte-sekte agama Buddha yang ada di Jepang.
       
Historical Buddhism in Japan
Agama Buddha, dalam bahasa Jepang (aksara kanji) berasal dari kata, bukkyō (仏教) yaitu butsu, Buddha () dan kyō yaitu keyakinan, kepercayaan (). Agama Buddha diperkenalkan di Jepang pada abad ke-6 M, ketika para bhiksu Cina melakukan perjalanan ke Jepang dengan membawa banyak kitab-kitab suci dan karya seni. Agama Buddha diyakini  mulai masuk ke Jepang lewat kerajaan Baekje di Korea sekitar tahun 538 M. Beberapa tahun kemudian berbagai buku dan literatur tentang Buddhism juga mulai masuk lewat negara China pada masa dinasti Sui. Empat puluh tahun kemudian kaisar Jepang saat itu yaitu Pangeran Shotoku (574-621 M) meresmikan Buddha sebagai agama resmi negara.
 Sebagai agama baru tentu saja tidak lepas dari penolakan dan juga tekanan. Pada masa pemerintahan militer Oda Nobunaga (534 M – 1582 M), agama Buddha mengalami masa suram karena pemerintah saat itu bersikap antipati terhadap agama Buddha sendiri. Hal ini disebabkan karena pada masa itu muncul banyak pemberotakan oleh rakyat yang menentang pemerintah, juga karena dukungan oleh pendeta Buddha, khususnya dari sekte Tendai di kuil Hiei. Pemberontakan akhirnya, berakhir dengan penyerbuan ke kuil yang terletak di atas puncak bukit, yang menyebabkan ribuan pengikutnya terbunuh.
Pada masa periode Meiji (1868 M-1912 M) pemerintah menetapkan Shinto sebagai agama resmi Negara, sehingga secara tidak langsung menempatkan agama Buddha dalam posisi yang berseberangan. Pada masa itu banyak kuil Buddha yang ditutup dan pemerintah memaksa para rahib untuk berkeluarga. Sejak saat itu banyak kuil yang beralih status menjadi Kuil Keluarga yaitu kuil yang pengelolaanya dilakukan secara perorangan dan diwariskan secara turun temurun dari bapak ke anaknya.
Menurut Takasaki dalam bukunya yang berjudul “2500 Years of Buddhism” menyatakan bahwa sejarah perkembangan ajaran Buddha di Jepang terbagi menjadi tiga periode, yaitu:
1.      The period of importation (6 th century-7 th century AD) “the Asuka and Nara period”.
Masa ini merupakan masa pertama dalam penyesuaian (adaptasi) terhadap kepercayaan asli bangsa Jepang, yakni agama Shinto. Pada periode ini terdapat enam aliran yang diperkenalkan dan tumbuh di Jepang, yaitu: Kusha (aliran Abhidharmakosa), Sanron (aliran Tiga Kitab Suci dari Madyamika), Jojitsu (aliran Satyasidhi-sastra), Kegon (aliran Avatmsaka), Hosso ( aliran Dharma-laksana), dan Ratsu (aliran Vinaya).
2.      The period of nationalization (9 th century -14 th century AD) “the Heian and Kamakura period”.
Masa ini merupakan masa kedua, yaitu masa nasionalisasi agama Buddha. Masa ini diawali dengan kelahiran dua aliran agama Buddha di Jepang yaitu Tendai dan Shigon oleh Saicho (267-822 M) dan Kukai (774-835 M). Para pendiri aliran tersebut memunyai tujuan agar agana Buddha dapat diterima oleh rakyat Jepang.
3.      The period of continuation (15 th century -20 th century AD) “the Muromachi, Momoyama, and Edo period (the modern age)”.
Masa ini merupakan masa perkembangan agama Buddha. Setelah berakhirnya periode Kamakura, di Jepang agama tidak menjadi berkembang akan tetapi dalam periode ini terlahir beberapa aliran.
(Takasaki, 1956:70-73)


Conditions Buddhism in Japan

Agama Buddha sampai sekarang tetap masih aktif di Jepang. Agama Buddha yang berkembang di Jepang adalah agama Buddha Mahayana. Kelompok agama Buddha Mahayana merupakan salah satu kelompok besar dari aliran agama Buddha yang dalam ritualnya memadukan unsur seni dan budaya setempat. Kelompok lainnya adalah Theravada, yaitu aliran yang dianggap menjalankan ajaran Buddha sesuai dengan aslinya. Buddha Theravada umumnya banyak di jumpai di asia tenggara seperti Thailand, India dan Srilanka sedangkan kelompok Mahayana umumnya berkembang di China, Taiwan dan Jepang.
Agama Buddha Mahayana merupakan agama yang bisa memadukan antara ritual agama dengan unsur seni dan budaya setempat, sehingga mahayana ini bisa mudah diterima dan berkembang di negara Jepang. Salah satu budaya yang paling terkenal di Jepang yaitu upacara minum teh. Budaya ini lahir dan dipopulerkan oleh para pendeta Buddha sebagai salah satu bagian dari meditasi. Disamping itu banyak contoh dari budaya Jepang yang lahir karena pengaruh dari agama baru seperti seni merangkai bunga (Ikebana), seni penulisan puisi (Haiku), kaligrafi dan lain sebagainya. Seni olah raga Kenpo dan Judo juga dipercayai kemunculannya tidak bisa lepas dari pengaruh agama Buddha. Bangunan tempat ibadah atau kuil Buddha di Jepang, ditemukan banyak benda peninggalan karya seni, seperti lukisan, ukiran dan karya pahat yang dibuat oleh seniman tekenal pada jamannya.
Umat Buddha di Jepang sama sekali tidak merayakan hari Waisak dan juga hari raya lainnya khusus untuk umat Buddha. Jepang tidak mengenal hari raya, akan tetapi Jepang memunyai tradisi upacara yang boleh dikatakan sebagai hari raya umat Buddha Jepang yaitu Upacara Obon, yaitu hari peringatan untuk leluhur dengan cara berziarah ke makam keluarga. Pada saat upacara Obon tersebut, banyak orang yang pulang kampung untuk berziarah ke makam keluarga yang telah meninggal dunia.  Namun upaca Obon tersebut sepertinya lebih dekat ke arah budaya dibandingkan agama karena menghormati leluhur atau ziarah ke makam keluarga bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa batasan agama sama sekali.
Orang Jepang atau umat Buddha, kebanyakan kurang begitu memahami dogma ataupun doktin agama mereka. Untuk menjadi seorang pengikut agama Buddha di Jepang, seseorang sama sekali tidak dibebankan untuk menjalankan ritual tertentu, menghafal dan mempelajari kitab apapun. Mempelajari kitab suci (Sutra), menjalankan ritual, doa, dan meditasi yang ketat dan keras, berbagai pantangan dalam hal makanan dan sebagainya sepenuhnya hanyalah kewajiban dari para pendeta saja.
Masyarakat umum hanya tahu satu hal saja yaitu berdoa. Datang ke kuil pada hari kapan saja, melempar sekeping uang sebagai sumbangan dan berdoa dengan mencakupkan kedua tangan di dada sepertinya sudah lebih dari cukup dan ritual ini dilakukan tidak lebih dari lima detik. Jadi, kuil Buddha di Jepang selain berfungsi sebagai tempat berdoa/ibadah, juga berfungsi sebagai tempat wisata. Untuk kuil tertentu yang bernilai historis tinggi dan banyak dikunjungi oleh wisatawan, setiap pengunjung dikenakan tiket masuk seharga kurang lebih 300 yen (Rp 20.000) dan aturan ini berlaku tanpa perkecualian. Jadi baik yang datang untuk tujuan berdoa ataupun tidak adalah sama saja. Wisatawan yang dimaksud kebanyakan adalah orang Jepang sendiri dan sebagian besar dari mereka akan menyempatkan diri untuk berdoa. Bangunan kuil di Jepang umumnya sangat indah dan sebagian besar terbuat sepenuhnya dari kayu dan sudah berumur ratusan tahun. Kuil Toudaiji, salah satu contohnya yang dibangun pada tahun 728 M merupakan banguan kayu tertua di dunia. Beberapa diantara kuil besar di Jepang mendapat perlindungan dari badan dunia yang mengurus masalah budaya yaitu UNESCO.


The Buddhism Sects in Japan
Agama Buddha di Jepang memunyai banyak sekte. Dalam penulisan makalah ini penulis hanya akan membahas empat aliran agama Buddha di Jepang  diantaranya yaitu:          
1.      Pure Land Buddhism, merupakan salah satu sekte yang mempopulerkan upacara kremasi di Jepang. Sekte ini memunyai pengikut yang cukup luas meliputi negeri China, Tibet dan Vietnam.
2.      Nichiren Buddhism yaitu Nichiren Shō Shū yang artinya Sekte Benar Nichiren. Sekte ini didirikan pada tahun 1253 M oleh pendeta Nikkō, murid pendeta Nichiren. Sekte Nichiren adalah salah satu sekte Buddha yang cukup unik. Keunikannya adalah sekte ini adalah tidak melakukan penyembahan ke arca Buddha seperti yang umum dilakukan pada tradisi Buddha lainya. Sebagai gantinya mereka meletakkan Mandara, tulisan atau huruf Jepang yang berisikan mantra atau tulisan suci yang dikeramatkan. Sekte ini juga memunyai sejumlah pengikut di Indonesia yang tergabung dalam Nichiren Shu Indonesia.
3.      Sōka Gakkai, adalah sekte Buddha yang mungkin terbesar di Jepang saat ini, khusunya segi jumlah anggota maupun organisasi. Sekte ini berdiri pada tahun 1975 M dan ajarannya kebanyakan bersumber dari ajaran Nichiren. Tidak seperti sekte Buddha tradisi, maupun agama tradisi lainya, Sōka Gakkai tidak menekankan aktivitasnya pada kegiatan tradisi dalam arti ritual seperti sembahyang atau ibadah, namun lebih banyak ke bidang pendidikan dan perbaikan perilaku. Mereka percaya bahwa tujuan hidup manusia adalah penciptaan nilai. Nilai-nilai tersebut adalah kebaikan, kegunaan, dan keindahan. Sōka sendiri artinya adalah penciptaan nilai, sedangkan Gakkai artinya tempat pertemuan atau tempat belajar. Sekte ini sepertinya tidak memiliki tempat ibadah secara khusus namun sebagai gantinya mereka memiliki gedung yang dipakai sebagai tempat pertemuan dan diskusi. Jadi Sōka Gakkai lebih tepatnya disebut sebagai kelompok studi pendidikan dibandingkan dengan agama. Secara rutin para pengikutnya mengadakan pertemuan dan berdiskusi tentang masalah kehidupan sehari-hari. Pada 1964 M, Sōka Gakkai juga mulai memasuki dunia politik dengan mendirikan partai politik yang bernama Kōmeitō dan tetap eksis sampai saat ini dan menjadi partai keempat terbesar di negara tersebut.
4.      Buddha Zen, merupakan suatu sekte dari agama Buddha yang sangat berpengaruh di negara Jepang. Sekte ini didirikan oleh Dōgen Zenji (19 Januari 1200 - 22 September 1253) yang merupakan seorang guru Zen termasyur di Jepang. Tokoh ini pernah lama belajar dan memperdalam ilmunya di negeri China. Salah satu kuil Zen yang sangat terkenal yaitu Eiheiji Temple di Perfecture Fukui, telihat dengan jelas refleksi dari ajaran Zen tersebut. Komplek kuil tersebut sangat luas, asri, dan menyatu dengan alam. Pohon pohon besar berumur ratusan tahun berdiri tegak menjulang lurus ke atas. Seperti umumnya banguanan kuil di Jepang yang sepenuhnya terbuat dari kayu terlihat sangat bersih dan terawat. Kebersihan merupakan bagian dari ibadah dan tiap hari puluhan orang (calon rahib) tampak menggosok lantai kayu sampai mengkilat dan sebagian orang lagi tampak sibuk mencabut rumput dan tanaman penganggu di taman. Ketika memasuki banguan utama yang memiliki lorong yang sangat banyak dan panjang, sandal dan sepatu harus dilepas dimasukkan ke dalam kantong plastik dan di bawa selama berkunjung di areal dalam bangunan.
Untuk para rahib, mereka harus menjalankan meditasi dan berbagai pantangan yang sangat ketat. Pada umumnya para rahib Buddha makan hanya dua kali sehari, jadi jam makan, tidur dan juga bangun diatur dengan sangat ketat. Berjalan juga dianggap sebagai bagian dari meditasi atau etika sehingga cara berjalanpun harus di pelajari, misalnya adalah berjalan dengan tidak menimbulkan suara berisik.
Ajaran Zen lebih sederhana dan baik bila dipraktekkan dalam kehidupan kita sehari hari. Ajaran tersebut seperti :
1.                   Ajakan untuk mencintai alam,
2.                   Menciptakan nilai pada diri (the value of a person), dan
3.                  Ajakan untuk cinta damai dan tidak fanatik pada agama atau kepercayaan buta.

Salah satu kutipan dari ajaran tersebut adalah sebagai berikut:

Shizen no megumi
Kome mo yasai mo inochi desu. Niku mo sakana mo inochi desu.
Korera no inochi no ikage de watashitachi mo ikisarete imasu
Itadakimasu, Gochicho sama
Toutoi inochi ni kansha shite shokuji o itadakimashou

Mother Nature's Bounty
Rice and vegetable have lives, meat animals and fish have lives
It is thank to those lives that we are able to live
Let us receive food with gratitude for those precious lives
always saying "I thankfully accept this gift of nourishment" and "Thank you for this wonderful food".

      
Berkah dari Karunia Alam
Beras dan sayur yang telah hidup, daging binatang dan ikan yang telah hidup
Terimakasih bahwa kita masih mampu untuk hidup
Biar kita mendapat makanan dengan kesyukuran untuk hidup yang mahal ini
Selalu mengatakan "Aku penuh dengan ucapan terimakasih menerima hadiah dari makanan ini " dan "Terima kasih untuk makanan sangat bagus ini".
Budaya tersebut merupakan salah satu budaya dari Jepang yang memunyai arti untuk menghormati makanan. Dalam budaya Jepang, seorang anak umumnya diajar untuk makan sampai sisa nasi terakhir yang tujuannya adalah untuk menghormati kehidupan dari beras yang telah kita makan. Dari perilaku tersebut mencerminkan bahwa Jepang memunyai budaya yang sangat bagus untuk kita kembangkan dan kita praktikkan dalam kehidupa kita sehari-hari. Pada zaman modern, aliran Buddhisme yang terkenal di Jepang adalah Jōdokyō, Buddhisme Nichiren, Shingon, dan Zen.

Conclusion
Dari pembahasan makalah tersebut, penulis menyimpulkan bahwa Agama Buddha di Jepang berasal dari kata butsu, Buddha () dan kyō, keyakinan, kepercayaan (). Agama Buddha diperkenalkan di Jepang pada abad ke-6 dan mulai dikenal sekitar tahun 538. Agama Buddha yang masuk dan berkembang di Jepang adalah agama Buddha Mahayana. Jepang memunyai banyak kebudayaan, diantaranya; upacara minum teh, seni merangkai bunga (Ikebana), seni penulisan puisi (Haiku), kaligrafi dan seni olah raga Kenpo dan Judo. Agama Buddha di Jepang, memunyai banyak sekte diataranya yaitu Pure Land Buddhism, Nichiren Buddhism, Sōka Gakkai, dan Buddha Zen. Sekte yang muncul dan berkembang di Indonesia dari negara Jepang adalah Nichiren buddhism.
Referensi
-        J.N. Takasaki. 1956. “2500 Years of Buddhism”. India: The Publications Division.
-        Wahyono, Mulyadi. 1992. Sejarah Perkembangan Agama Buddha I. Jakarta: DIRJEN BIMAS Hindu Buddha dan Universitas Terbuka.