jejak ajaran Buddha

jejak ajaran Buddha

SPACE IKLAN

SPACE IKLAN

Translate

Kamis, April 12, 2012

AGAMA BUDDHA DAN POLITIK



Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, hubungan antara agama dan politik jelas memiliki suatu keterkaitan, namun tetap harus dibedakan. Satu pihak, masyarakat agama memiliki kepentingan mendasar agar agama tidak dikotori oleh kepentingan politik, karena bila agama berada dalam dominasi politik, maka agama akan sangat mudah diselewengkan. Akibatnya agama tidak lagi menjadi kekuatan pembebas atas berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan, sebaliknya agama akan berkembang menjadi kekuatan yang menindas dan kejam.
Di pihak lain, kewajiban moral agama adalah untuk ikut mengarahkan politik agar tidak berkembang menurut kemauannya sendiri yang bisa membahayakan kehidupan. Agar agama dapat menjalankan peran moral tersebut, maka agama harus dapat mengatasi politik, bukan terlibat langsung ke dalam politik praktis. Karena bila agama berada di dalam politik, maka agama akan kehilangan kekuatan moralnya yang mampu mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang menekan kehidupan dan menyimpang dari batas-batas moral dan etika agama, masyarakat, dan hukum.
Dalam konteks keterkaitan ilmiah, maka hubungan antara agama dan politik harus kita waspadai sehingga ia tidak sampai berjalan pada posisi yang salah. Salah satu ukuran atau kunci yang paling mudah dikenali agar kita dapat menarik batas yang mana politik yang harus dihindari sehingga kita tidak terjebak ke dalam arus politik kotor, khususnya oleh kaum Buddhis adalah dengan menghindari penggunaan kekerasan. Agama secara moral dan politis berada pada posisi yang benar pada saat agama tidak menjadi alat untuk memperebutkan atau mempertahankan status kekuasaan, sehingga pada saat agama mengarah kepada politik kekuasaan, pada saat itulah agama dalam posisi yang salah dan berbahaya.
Jadi usaha agar agama tidak dikotori dan diberi muatan politik tidak berarti agama harus mengalami pendangkalan fungsinya sebagai agen pembebas. Justru pemahaman atas proses politik diperlukan karena agama memiliki peranan yang penting agar nilai-nilai moral dan spiritual mampu memberikan muatan bagi politik, bukan sebaliknya. Selain itu, saat ini pemahaman atas sistem politik, baik yang menyangkut masalah ekonomi maupun sosial menjadi semakin penting bagi seorang Buddhis karena bagaimanapun juga, berbicara mengenai Buddhisme adalah berbicara mengenai bagaimana kita memahami penderitaan, untuk kemudian memahami sebab dan jalan untuk mengatasinya. Buddhisme akan kehilangan akarnya bila tidak sanggup lagi berbicara dan peduli dengan penderitaan dunia saat ini yang sudah sedemikian kompleks. Tetapi memahami penderitaan saat ini tidaklah semudah kita memahami penderitaan pada jaman Buddha. Masyarakat luas saat itu tidaklah seburuk sekarang dan sistem yang ada juga belum terlalu kejam. Dan perubahan seseorang masih dapat memberikan pengaruh yang besar. Ini menyangkut seluruh bagian dari suatu sistem yang pincang dan tidak demokratis. Melalui sistem ini manusia saling membunuh dan menerkam. Karenanya kita perlu mempertanyakan setiap sistem yang berlangsung, tapi bukan membenci orang-orang yang terlibat dalam sistem tersebut. Oleh karena itu pemahaman atas sistem politik, ekonomi, maupun ideologi menjadi sangat penting. Usaha untuk mengatasi penghancuran lingkungan, ketidakadilan, dan berbagai kesenjangan sosial, politik, dan ekonomi, misalnya, jelas menjadi tugas seorang Buddhis. Tapi kita juga tidak boleh lalai untuk menyadari bahwa setiap komitmen moral yang kita miliki terhadap usaha pembebasan penderitaan, sesungguhnya bersifat politis.
Mengatasi penderitaan memang merupakan komitmen moral, tapi melakukan perubahan struktural yang tidak demokratis agar rakyat terbebas dari struktur sosial yang menindas dan banyak menimbulkan penderitaan, maupun yang melanggengkan ketergantungan dan ketidak berdayaan mereka, merupakan keputusan politik. Jadi jelas, pembebasan penderitaan saat ini tidak dapat dipahami hanya dalam konteks pribadi, karena Buddhisme selain memberi sarana bagi pembebasan pribadi, ia juga harus dapat melapangkan jalan bagi pembebasan sosial dan lingkungan.
Buddhisme saat itu telah menjadi kekuatan pembebas yang begitu hebat, bukan hanya sebagai pembebasan pribadi, tapi juga pembebasan sosial dan politik. Ambedhar senantiasa mengingatkan bahwa tidaklah cukup bagi seorang Buddhis berbicara mengenai sebab penderitaan hanya dari kebencian, keserakahan, dan kebodohan individual. Itu hanya satu sisi dari sebab "internal" karena di samping itu, struktur sosial dan politik yang pincang adalah juga sebab penderitaan sebagai sebab-sebab yang tidak tersentuh. Sebagai seorang Buddhis, transformasi pribadi memang harus tetap dilakukan, tapi kita akan tetap dibodohi bila kita tidak memahami secara jelas bagaimana sebuah sistem berjalan dan cara untuk mengubah sistem dan kondisi masyarakat yang menindas.
Bila selama ini etika sosial Buddhis telah menjadi begitu pribadi, maka kita perlu menginterpretasikannya kembali sehingga sīla selain berguna untuk menuntun cara hidup individu, ia juga harus dapat mempertanyakan berbagai sistem dan kebijaksanaan yang berlangsung dengan melihat bagaimana suatu sistem juga mengandung suatu kekerasan dan penindasan. Pancasila Buddhis misalnya, dalam masyarakat tradisional yang hidup sederhana, masalah-masalah etika/ sīla juga menjadi mudah dan sederhana. Seseorang dapat saja berkata "Saya baik, saya tidak membunuh, mencuri,….." tapi ketika masyarakat sudah berkembang semakin kompleks, kesederhanaan etika seperti itu menjadi kurang berfungsi.
Begitupun dengan pemikiran Buddhis atas pencerahan dan kebijaksanaan yang mutlak diperlukan sehingga tidak selalu diartikan sebagai pencerahan pribadi. Kebijaksanaan (panna) harus mengandung pemahaman yang benar atas diri sendiri dan masyarakat. Bila kita memahami masyarakat dan bila masyarakat dalam kondisi yang diliputi oleh ketidakadilan, pengeksploitasian, dan kekerasan, bagaimana tanggapan kita atas hal tersebut? Apakah kita melepaskan tanggung jawab moral sosial kita dan cukup menjadi "seorang Buddhis yang baik". Apa benar Buddhisme tidak memiliki tanggung jawab dan kepedulian sosial? Kesadaran-kesadaran inilah yang masih perlu dibangun dan disadari oleh setiap generasi muda Buddhis para calon intelektual muda bangsa. Memang ini masih menjadi sesuatu yang sangat baru dan asing bagi sebagian besar masyarakat Buddhis, karena selama ini kita terlalu sering membiarkan diri kita berdiri terlalu jauh dari masalah-masalah sosial politik aktual. Tapi dengan memahami bahwa sistem juga adalah bagian yang tidak terlepas dari penyebab penderitaan, semoga kita dapat semakin terbuka untuk mulai belajar setiap proses sosial politik yang berlangsung, sehingga kita dapat semakin menyadari hakekat pembebasan yang menjadi amanat dasar dari Dharma.
Dharma merupakan sesuatu yang tidak terikat oleh waktu, ia juga harus dapat berguna bagi usaha pembebasan di segala zaman. Akhirnya mengapa pemahaman dan wawasan yang mendalam atas persoalan sosial politik diperlukan, karena sebagai manusia yang memiliki semangat spiritualitas Dharma, yang selalu bersandar kepada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan, akan terusik nuraninya bila melihat politik berkembang menjadi kekuatan yang kotor, menekan dan menindas.
Tetapi saat ini banyak politisi mencoba menyeret nama agama Buddha ke dalam politik dengan memperkenalkan Beliau sebagai komunis, kapitalis, atau bahkan seorang imperialis. Mereka telah lupa bahwa filosofi politik baru yang telah kita kenal berkembang di dunia Barat jauh setelah masa Sang Buddha. Usaha untuk mencampuradukkan agama dengan politikpun sering terjadi. Padahal, kalau dilihat agama berdasarkan pada moralitas, kemurnian, dan keyakinan, sedangkan dasar politik adalah kekuatan. Dilihat dari sejarah masa lalu, agama telah sering digunakan untuk memberi hak bagi orang-orang yang berkuasa. Agama digunakan untuk membenarkan perang dan penaklukan, penganiayaan, kekejaman, pemberontakan, penghancuran karya-karya seni dan kebudayaan. Ketika agama digunakan sebagai perantara tindakan-tindakan politik, agama tidak lagi dapat memberikan keteladanan moral yang tinggi dan derajatnya direndahkan oleh kebutuhan-kebutuhan politik duniawi. Tujuan Buddha Dhamma tidak diarahkan pada penciptaan lembaga-lembaga politik baru dan menyusun rencana-rencana politik. Pada dasarnya, agama mencari pendekatan masalah-masalah kemasyarakatan dengan memperbaiki individu-individu dalam masyarakat tersebut dan menganjurkan beberapa prinsip umum untuk dituntun ke arah nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Memperbaiki kesejahteraan anggota-anggotanya dan lebih adil dalam membagi sumber daya-sumber daya. Sistem politik dapat menjaga kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat, tapi ada batasannya. Bagaimanapun idealnya suatu sistem politik, tidak dapat menimbulkan kedamaian dan kebahagiaan selama orang-orang dalam sistem tersebut dikuasai keserakahan, kebencian, dan kebodohan.
Masyarakat seharusnya tidak membuang-buang waktunya dengan pencarian tanpa akhir bagi sistem politik muktahir di mana manusia dapat bebas sepenuhnya. Karena kebebasan penuh tidak dapat ditemukan dalam sistem apapun melainkan hanya dalam batin yang bebas. Untuk menjadi bebas, orang-orang harus mencari ke dalam pikiran mereka sendiri dan bekerja ke arah pembebasan diri mereka sendiri dari belenggu kebodohan dan keinginan.
Kebebasan dalam arti sebenarnya hanya mungkin ketika manusia menggunakan Dhamma untuk mengembangkan sifatnya melalui perkataan, perbuatan yang baik dan melatih pikirannya sedemikian rupa untuk mengembangkan potensi mentalnya dan mencapai tujuan akhir yaitu penerangan.
Sementara mengetahui manfaat memisahkan agama dari politik dan keterbatasan sistem politik dalam menimbulkan kedamaian dan kebahagiaan. Ada beberapa aspek dari ajaran Sang Buddha yang mempunyai hubungan dekat dengan perencanaan politik masa kini. Pertama-tama, Sang Buddha berbicara tentang kesamaan dari semua manusia jauh sebelum Abraham Lincoln. Dan kelas-kelas juga kasta-kasta adalah pembatas buatan yang didirikan oleh masyarakat. Satu-satunya klasifikasi manusia, menurut Sang Buddha, adalah berdasarkan pada kualitas perbuatan moral mereka. Kedua, Sang Buddha mendorong jiwa kerjasama sosial dan partisipasi aktif dalam masyarakat modern. Tiga, karena tak seorang pun ditunjuk oleh Sang Buddha sebagai penerus, anggota-anggota Sangha dituntun oleh Dhamma dan Vinaya, atau singkatnya, Aturan Hukum. Hingga hari ini setiap anggota Sangha mematuhi Aturan Hukum yang menentukan dan menuntun perbuatan mereka. Keempat, Sang Buddha mendorong jiwa konsultasi dan proses demokrasi. Ini diperlihatkan dalam kelompok Sangha yang semua anggotanya mempunyai hak untuk memutuskan masalah-masalah umum. Ketika suatu pernyataan serius timbul dan membutuhkan perhatian, persoalan- persoalan dihadapkan kepada para bhikkhu dan dibahas dalam sikap demokrasi sistem Dewan Perwakilan Rakyat yang digunakan masa kini. Prosedur pemerintahan ini mungkin mengejutkan bagi banyak orang yang mengetahui bahwa dalam majelis Agama Buddha di India lebih dari 2500 tahun yang lalu dapat ditemukan dasar praktek Dewan Perwakilan Rakyat masa kini. Seorang petugas khusus yang serupa dengan "Tuan Pembicara" ditunjuk untuk menjaga martabat majelis. Petugas kedua, yang berperan serupa dengan kepala penggerak Dewan Perwakilan Rakyat juga ditunjuk untuk melihat apakah kuorum tercapai. Masalah-masalah diajukan dalam bentuk suatu mosi yang terbuka untuk diskusi. Dalam beberapa kasus hal itu dilakukan satu kali, dalam kasus lain tiga kali. Demikian praktek Dewan Perwakilan Rakyat, suatu rancangan dibaca tiga kali sebelum menjadi hukum. Jika diskusi memperlihatkan suatu perbedaan pendapat, hal itu harus diselesaikan dengan pengambilan suara mayoritas melalui pemungutan suara.
Pendekatan Agama Buddha terhadap politik adalah kemoralan dan tanggung jawab penggunaan kekuatan masyarakat. Sang Buddha mengkotbahkan tanpa kekerasan tetapi kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau penghancuran kehidupan dan mengumumkan bahwa tidak ada satu hal yang dapat disebut sebagai suatu perang 'adil'. Beliau mengajarkan, "Yang menang melahirkan kebencian, yang kalah hidup dalam kesedihan. Barang siapa yang melepaskan keduanya baik kemenangan dan kekalahan akan berbahagia dan damai".
Sang Buddha tidak hanya mengajarkan tanpa kekerasan dan kedamaian, Beliau mungkin guru agama pertama dan satu-satunya yang pergi ke medan perang secara pribadi untuk mencegah pecahnya suatu perang. Beliau menguraikan ketegangan antara suku Sakya dan suku Koliya yang siap berperang atas air Sungai Rohini. Beliau juga meminta Raja Ajatasattu supaya jangan menyerang Kerajaan Vajji. Sang Buddha mendiskusikan penting dan perlunya suatu pemerintahan yang baik. Beliau memperlihatkan bagaimana suatu negara dapat menjadi korup, merosot nilainya dan tidak bahagia ketika kepala pemerintahan menjadi korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan bagaimana suatu pemerintahan harus bertindak berdasarkan pada prinsip- prinsip kemanusiaan. Suatu kali Sang Buddha berkata, "Ketika penguasa suatu negara adil dan baik para menteri menjadi adil dan baik; ketika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para pejabat tinggi adil dan baik, rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata menjadi baik, orang-orang menjadi adil dan baik". (Anguttara Nikaya). Di dalam Cakkavatti Sihananda Sutta, Sang Buddha berkata bahwa kemerosotan moral dan kejahatan seperti pencurian, pemalsuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat timbul dari kemiskinan. Para raja dan aparat pemerintah mungkin menekan kejahatan melalui hukuman, tetapi menghapus kejahatan melalui kekuatan, takkan berhasil.
Dalam Kutadanda Sutta, Sang Buddha menganjurkan pengembangan ekonomi sebagai ganti kekuatan untuk mengurangi kejahatan. Pemerintahan harus menggunakan sumber daya negara untuk memperbaiki keadaan ekonomi negara. Hal itu dapat dimulai pada bidang pertanian dan pengembangan daerah pedalaman, memberikan dukungan keuangan bagi pengusaha dan perusahaan, memberi upah yang cukup bagi pekerja untuk menjaga suatu kehidupan yang layak sesuai dengan martabat manusia.
Dalam Jataka, Sang Buddha telah memberikan 10 aturan untuk pemerintahan yang baik, yang dikenal sebagai "Dasa Raja Dhamma". Kesepuluh aturan ini dapat diterapkan bahkan pada masa kini oleh pemerintahan manapun yang berharap dapat mengatur negaranya. Peraturan-peraturan tersebut sebagai berikut :
1.      Bersikap bebas / tidak picik dan menghindari sikap mementingkan diri sendiri.
2.      Memelihara suatu sifat moral tinggi.
3.      Siap mengorbankan kesenangan sendiri bagi kesejahteraan rakyat.
4.      Bersikap jujur dan menjaga ketulusan hati.
5.      Bersikap baik hati dan lembut.
6.      Hidup sederhana sebagai teladan rakyat.
7.      Bebas dari segala bentuk kebencian.
8.      Melatih tanpa kekerasan.
9.      Mempraktekkan kesabaran, dan
10.  Menghargai pendapat masyarakat untuk meningkatkan kedamaian dan harmoni.         
Hukum harus diselenggarakan tidak hanya karena penguasa mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan hukum. Dan dikerjakan dalam suatu sikap yang masuk akal dan dengan pikiran sehat, (Cakkavati Sihananda Sutta).
   Dalam Milinda Panha dinyatakan: Jika seseorang yang tidak cocok, tidak mampu tidak bermoral, tidak layak, tidak berkemampuan, tidak berharga atas kedudukan sebagai raja, telah mendudukkan dirinya sendiri sebagai seorang raja atau seorang penguasa dengan wewenang besar, dia akan menjadi sasaran penyiksaan. Menjadi sasaran berbagai macam hukuman oleh rakyat. Karena dengan keberadaannya yang tidak cocok dan tidak berharga, dia telah menempatkan dirinya secara tidak tepat dalam kedudukannya. Sang penguasa seperti halnya orang lain yang kejam dan melanggar moral etika dan aturan dasar dari semua hukum-hukum sosial umat manusia, adalah sebanding sebagai sasaran hukuman dan lebih lagi yang pantas menjadi kecaman adalah penguasa yang berbuat sendiri sebagai seorang perampok masyarakat. Raja yang selalu memperbaiki dirinya sendiri dan secara hati-hati memeriksa tingkah lakunya baik perbuatan, ucapan dan pikiran, mencoba untuk menemukan dan mendengar pendapat publik apakah dia telah bersalah atau tidak dalam mengatur kerajaannya. Jika ditemukan bahwa dia telah mengatur secara tidak benar, masyarakat akan mengeluh bahwa mereka telah dihancurkan oleh penguasa yang jahat dengan perlakuan yang tidak adil, hukuman, pajak, atau tekanan-tekanan lain termasuk korupsi dalam segala bentuk, dan mereka akan bereaksi menentangnya dalam satu atau lain cara. Sebaliknya, jika seorang penguasa mengatur dengan cara yang benar mereka akan memberkahinya dengan "Panjang umur Yang Mulia" (Majjhima Nikaya).
Penekanan Sang Buddha pada tugas moral seorang penguasa untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat telah mengilhami Raja Asoka pada abad ketiga Sebelum Masehi untuk berbuat demikian. Raja Asoka, contoh seorang raja berhasil dengan prinsip ini, berketetapan untuk hidup menurut Dhamma dan mengkhotbahkan Dhamma serta melayani rakyatnya dan semua umat manusia. Dia mengajarkan tanpa kekerasan kepada tetangga-tetangganya, meyakinkan mereka dan mengirim utusan kepada para raja membawa pesan perdamaian dan tanpa agresi. Dengan penuh semangat mempraktekkan kebajikan moral, kejujuran, ketulusan, welas asih, kebaikan hati, tanpa kekerasan, penuh perhatian dan toleransi terhadap semua manusia, tidak tinggi hati, tidak tamak, dan melukai binatang. Beliau mendorong kebebasan beragama dan secara berkala membabarkan Dhamma kepada orang-orang di pedalaman. Beliau menangani pekerjaan kebutuhan masyarakat, seperti: mendirikan rumah-rumah sakit untuk manusia dan binatang, memasok obat-obatan, menanam hutan-hutan kecil dan pohon-pohon di tepi jalan, menggali sumur-sumur, dan membangun tanggul-tanggul air dan rumah-rumah peristirahatan. Beliau juga melarang bertindak kejam terhadap binatang-binatang.                  Kadang-kadang Sang Buddha dikatakan sebagai pembaharu sosial. Antara lain Beliau mencela sistem kasta, memperkenalkan persamaan manusia, berbicara akan kebutuhan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi, memperkenalkan pentingnya pembagian kekayaan yang lebih pantas diantara yang kaya dan yang miskin, meningkatkan status wanita, menganjurkan memasukkan kemanusiaan dalam pemerintahan dan administrasi, dan mengajarkan bahwa suatu masyarakat harus dijalankan tanpa keserakahan. Hanya di dalam batin manusia pembaharuan sejati dapat berpengaruh. Pembaharuan yang dipaksakan mempunyai usia yang sangat pendek karena tidak mempunyai akar atau pondasi. Tetapi pembaharuan yang bersemi sebagai hasil transformasi kesadaran dalam (diri) manusia tetap berakar. Sementara cabang-cabangnya menyebar keluar, menarik makanan dari sumber yang tak pernah gagal yaitu bawah sadar yang penting sekali bagi aliran kehidupan itu sendiri. Jadi pembaharuan muncul ketika pikiran manusia telah menyiapkan jalan untuk mereka, dan mereka hidup selama manusia menghidupkannya kembali dengan sumber cinta mereka sendiri akan kebenaran dan keadilan, terhadap sesama manusia.                                          
Tujuan Buddha Dhamma tidak diarahkan pada penciptaan lembaga-lembaga politik baru dan menyusun rencana-rencana politik. Pada dasarnya, agama mencari pendekatan masalah-masalah kemasyarakatan dengan memperbaiki individu-individu dalam masyarakat tersebut dan menganjurkan beberapa prinsip umum untuk dituntun ke arah nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Memperbaiki kesejahteraan anggota-anggotanya dan lebih adil dalam membagi sumber daya-sumber daya. Sistem politik dapat menjaga kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat, tapi ada batasannya, Bagaimanapun idealnya suatu sistem politik, tidak dapat menimbulkan kedamaian dan kebahagiaan selama orang-orang dalam sistem tersebut dikuasai keserakahan, kebencian, dan kebodohan.                    

Referensi:                                                                               



Tidak ada komentar:

Posting Komentar