jejak ajaran Buddha

jejak ajaran Buddha

SPACE IKLAN

SPACE IKLAN

Translate

Jumat, November 18, 2011

PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI JEPANG

A.    Latar Belakang
Agama Buddha di kekaisari Jepang oleh kaisar Yamato dari kerajaan Kudara (Kerajaan Pak Che) pada tahun 552 M yang dikenal zaman Yamato. Penerimaan Agama Buddha oleh kaisar didasarkan pada kenyataan bahwa China telah maju dalam segala segi kehidupan karena masyarakatnya beragama Buddha. Namun, Agama Buddha baru ditetapkan sebagai agama negara pada waktu pemerintahan Kaisar Shotoku (574-621 M). Dimana saat itu kuil Buddha pertama dibangun yang masih dapat dijumpai di perfektur atau periode Nara. Pada zaman Shotoku lah yang memegang peranan penting, sebab beliau disukai oleh rakyatnya karena suka belajar dan taat terhadap Buddhisme yang memprakarsai dibangunnya kuil-kuil. Berkat pengaruh kuat dari Shotoku, agama Buddha diterima baik oleh masyarakat.  Masyarakat terbuka dalam hal mengenai agama baru tersebut karena ajarannya tak mengikat dan sederhana. Serta agama Buddha berjalan seiring dengan kebudayaan setempat.

B.      Pembahasan
Sejarah Perkembangan Buddhisme di Jepang:
Sejarah perkembangan Buddhisme di Jepang meliputi tiga periode, yaitu: periode Nara, periode Heian, dan pasca-periode Heian (id.wikipedia.org). Dari tiga periode tersebut dapat dilihat perkembangan Buddhisme yang pasang-surut. penjelasan secara lebih rinci dari perkem bangan Buddhisme di Jepang, sebagai berikut:
a.      Periode Nara (periode kedatangan) abad ke 6-7
Manifestasi agama Buddha pada periode ini adalah penyesuaian (adaptasi) terhadap kepercayaan asli bangsa Jepang, yakni agama Shinto. Para bhikṣu pada masa ini harus dapat melaksanakan upacara keagamaan bersamaan dengan upacara pemujaan nenek moyang. Secara bertahap agama Buddha dapat mempertahankan diri dan berkembang di antara rakyat banyak tanpa menyisihkan agama Shinto. Penerapan ajaran agama Buddha dari China oleh Jepang berdasarkan latar belakang karakter kebudayaan China, di mana agama Buddha diterima oleh keluarga kaum aristo­crat. Kaum aristocrat di Jepang pada waktu itu adalah kaum intelektual. Begitu kaum aristocrat menerima agama Buddha, maka penyebarannya ke seluruh negeri berlangsung dengan cepat. Beberapa penguasa di Jepang pada zaman kuno menerima agama Buddha sebagai pedoman hidup. Pangeran Shotoku (574-621), di bawah pemerintahan Ratu Suiko banyak berperan dalam perkembangan agama Buddha di Jepang, misalnya dengan mendirikan Vihāra Horyuji dan menulis banyak komentar mengenai ketiga kitab suci agama Buddha.
Pada periode ini tercatat enam aliran agama Buddha yang diperkenalkan dan berkembang di Jepang, yakni : Kusha (aliran Abhidharmakosa),Sanron (aliran Tiga Kitab Suci dari Madyamika),Jojitsu (aliran Satyasiddhi-sastra),Kegon (aliran Avatamsaka),Hosso (aliran Dharma-laksana),Ratsu (aliran Vinaya). 
a.      Periode Heian (periode nasionalisasi) abad ke 9-14
Periode ini diawali dengan munculnya dua aliran agama Buddha di Jepang, yaitu aliran Tendai oleh Saicho (797-822) dan aliran Shingon oleh Kukai (774-835). Tujuan dari para pendiri aliran tersebut adalah agar agama Buddha dapat diterima oleh rakyat Jepang. Selama pemerintahan Nara (710-884) sesungguhnya agama Buddha telah menjadi agama negara. Kaisar Shomu secara aktif telah mempropagandakan agama ini dan membuat patung Bud­dha yang besar di Nara serta menjadikannya sebagai pusat kebudayaan nasional. Di tiap propinsi dibangun pagoda-pagoda dan sistem pembabaran Dhamma yang efektif sesuai dengan keadaan setempat. Sekte Kegon (Huan Yen) versi Jepang memberikan ideologi Buddhis baru bagi negara. Selama pemerintahan Nara terdapat 6 sekte yang berkembang di Jepang. Sekte Kegon (sekte Hwaom Korea) adalah sekte yang mempunyai pandangan dan kepercayaan bahwa semua yang ada di dalam ini dapat berhubungan erat dengan kosmik yang terwujud di dalam tubuh Buddha. Yang dimakud adalah bahwa Dharmma itu tidak terlepas dari ajaran sang buddha yaitu trikaya. Pandangan dan kepercayaan ini didasarkan pada Avatamsamkasutra. Pendidikan dan pemikiran Ratsu terutama lebih ditekankan pada disiplin (vinaya) serta semata-mata merupakan alternatif akademik. Pada saat penyelamat alam yang ideal yang diperkenalkan adalah apa yang diajarkan Lotus Sutra dan penekanannya pada peranan umat seperti penjelasan dalam Vimalakitri Sutra. Dengan adanya cara penyelamatan yang ideal ini menjadi jelas bagi raja bahwa rohaniawan terlalu banyak berperan dan aktif di dalam politik. Selama pemerintahan anak perempuan (putri) Kaisar Shoma, bhikṣu Donkyu yang bertindak selaku pejabat pemerintah dari putri kaisar tersebut telah mencoba untuk menjadi kaisar. Hanya karena adanya perlawanan para aristocrat, maka Jepang tidak menjadi negara teokrasi beragama Buddha aliran Tibet yaitu negara yang memotori gerakan perkembangan Agama Buddha adalah kaum bangsawan sebab pemikirannya lebih mendalam dibandingkan dengan kaum biasayang masih berfikir sederhana. Sebagian dari perlawanan ini karena adanya tekanan dari Saṅgha, yaitu berupa tekanan bahwa seorang Bhikkhu tidak boleh memiliki peran ganda (bercampur dengan urusan polotik) karena adanya situasi yang tidak menguntungkan ini, akhirnya pengadilan memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Kyoto pada tahun 794.
 Pada tahun 804, Bhikṣu Saichi dikirim ke China dan kemudian kembali ke Jepang untuk mengajarkan (membabarkan) doktrin dari Tien Tai (dalam bahasa Jepang disebut Tendai).Walaupun sekte Hasso telah mengajarkan bahwa ada beberapa yang tidak bisa diselamatkan, tetapi Tendai menekankan pembabatan dan penyelamatan alam (dengan cara mengkritisi Bhiksu supaya tidak memiliki peran ganda yang berarti seorang Bhiksu yang seharusnya menjalani aturan vinayaan jalur keviharaan, bukan ikut jalur politik sehingga Bhiksu tetap berada dijalur kerohanian). Agama Buddha Jepang yang berkarakter Jepang terus berlangsung dan dapat didengar dalam pendidikan dan pemikiran baru dari masa Huan. Kompleks Vihāra Tendai di atas pegunungan Hie dikenal sebagai cikal bakal dari agama Buddha di dalam menyelamatkan keamanan negara. Aliran Shingon adalah salah satu bentuk dari aliran Tantra yang diperkenalkan kepada Jepang oleh Bhikṣu Kukai di awal abad ke-­9. Agama Buddha Shingon menentukan penyatuan dari pemeluknya dengan Buddha (persatuan Kawula-Gusti) dalam berbagai macam bentuknya. Dalam perkembangan sekte-sekte Buddhis, Tendai dan Shingon bercampur baur dengan agama Shinto yang nampak dalam penyatuan pemujaan dewa Shinto dan dewa-dewa dalam agama Buddha, sehingga terjadi persekutuan pemujaan.Gerakan dalam agama Buddha terjadi pada abad ke-10 dengan munculnya kepercayaan terhadap Buddha Amitābha. Banyak orang yang memeluk kepercayaan ini karena kesederhanaan ajaran, yakni dengan mengucapkan ”Amitābha Buddha” secara berulang-ulang akan terlahir di Tanah Suci (Sukhavati). Kemudian gerakan lain banyak muncul pada abad ke-13 karena banyak didorong oleh cita­-cita umat awam untuk mencapai kemurnian dan kesederhanaan ajaran maupun caranya. Yang menjadi awal adalah kepercayaan ini adalah pemahaman yogacara dan madyamika. Dengan pemahaman terhadap dua hal tersebut mengakibatkan sulitnya penyebaran agama Buddha, sebab pemikiran kaum Jepang masih berpikir praktis dan sederhana. Dengan melihat keadaan yang ada  maka dipakainya metode praktis sehingga kaum Jepang dapat menerima  dengan mnegucapkan “Amitaba Buddha”. Pandangan ini banyak dianut oleh para petani dan prajurit. Pada zaman Kamakura mulai timbul feodalisme di Jepang. Aliran-aliran agama Buddha yang tumbuh dalam suasana feodalisme tersebut di antaranya adalah Zen yang diperkenankan oleh Eisai (1141-1215), Dogen (1200-1253) serta Nichiren yang didirikan oleh Nichiren (1222-1282). 
b.      Pasca-periode Heian (periode lanjutan) abad ke 15-20
Dengan berakhirnya periode Kamakura, maka di Jepang tidak terdapat perkembangan agama yang berarti, kecuali meluasnya beberapa aliran. Pada zaman Edo (1603-1867), agama Buddha sudah kembali menjadi agama nasional di bawah perlindungan Shogun Tokogawa. Pada masa pemerintahan Shogun Tokogawa, agama Buddha di Jepang menjadi tangan (alat) dari pemerintah. Vihāra sering digunakan sebagai pendataan dan pendaftaran penduduk dan dijadikan salah satu cara untuk mencegah penyebaran agama Kristen yang oleh pemerintah feodal dianggap sebagai ancaman politik. Agama Buddha tidak begitu populer di kalangan masyarakat pada masa pemerintahan Meiji (1868-1912). Pada waktu itu, muncul usaha untuk menjadikan Shinto sebagai agama negara, yang dilakukan dengan cara memurnikan ajaran Shinto yang telah bercampur dengan agama Buddha, dan untuk itu dibutuhkan suatu penyelesaian. Cara yang dilakukan antara lain dengan menyita tanah vihāra dan membatasi gerak-gerik para bhikṣu. Keadaan tersebut berubah setelah restorasi Meiji pada tahun 1868, agama Buddha menghadapi saingan dari agama asli, Shinto. Namun hal itu dinetralisir dengan kebebasan memeluk agama yang diberikan oleh undang-undang dasar Jepang.Selama periode ultra nasional (1930-1945) pemikir-pemikir agama Buddha menyerukan penyatuan dunia Timur (Asia Timur Raya) ke dalam tanah suci Buddha (Buddha Land) di bawah pengawasan Jepang. Setelah perang berakhir, kelompok-kelompok agama Buddha yang baru dan lama mulai menyatakan bahwa agama Buddha merupakan agama negara yang penuh dengan perdamaian dan persaudaraan.

C.    Kesimpulan
Agama Buddha masuk ke Jepang dari India melalui perantara Cina. Pada tahun 552 M salah seorang raja di Cina mengirim seorang Bhikksu muda ke Jepang untuk menyebarkan agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan ke Jepang melalui Kudara di pakche, salah satu kerajaan di semenanjung korea pada tahun 552. Agama baru ini diterima oleh dinasti Soga yang berkuasa. Untuk memahami dalam perkembangannya, maka di kelompokan ke dalam tiga periode yaitu, periode Nara, Heian, dan pasca periode Heian. Pada Periode nara tercatat Enam aliran agama buddha yang tumbuh di Jepang. Pada periode Heian Periode ini diawali dengan munculnya dua aliran agama Buddha di Jepang, yaitu aliran Tendai oleh Saicho (797-822) dan aliran Shingon oleh Kukai (774-835). Tujuan dari para pendiri aliran tersebut adalah agar agama Buddha dapat diterima oleh rakyat Jepang. Selama pemerintahan Nara (710-884) sesungguhnya agama Buddha telah menjadi agama negara. Pada pasca periode Heain di Jepang tidak terdapat perkembangan agama yang berarti, kecuali meluasnya beberapa aliran. Pada zaman Edo (1603-1867), agama Buddha sudah kembali menjadi agama nasional di bawah perlindungan Shogun Tokogawa. Pada masa pemerintahan Shogun Tokogawa, agama Buddha di Jepang menjadi tangan (alat) dari pemerintah. Terbukti Vihāra sering digunakan sebagai pendataan dan pendaftaran penduduk dan dijadikan salah satu cara untuk mencegah penyebaran agama Kristen yang oleh pemerintah feodal dianggap sebagai ancaman politik.

D.    Referensi
Ø  Wahyono, Mulyadi. 1992. Sejarah Perkembangan Agama Buddha I. Jakarta: Penerbit Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu Buddha.
Ø  Tim Penyusun. 2003. Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Buddha. Jakarta: CV Dewi Kayana Abadi.
Ø  Suwarto, T. 1995. Buddha Dharma mahayana. Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar