KONSEP ETIKA DALAM BUDDHISME
A. Latar Belakang
Sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi di era globalisasi saat ini membuat manusia sekarang salah dalam mempertahankan hidupnya dan menjadi salah satu pengaruh terhadap krisis manusia, sehingga tidak jarang menyebabkan munculnya penyakit sosial, kriminal dan perilaku menyimpang yang dapat melanggar aturan moral. Etika saat ini mulai merosot. Maka dari itu kali ini penulis akan membahas tentang ”Etika Dalam Buddhisme”.
B. Pembahasan
1. Pengertian Etika
Etika buddhis merupakan pengetahuan umum sebagai penyelidikan dalam mengevaluasi tingkah laku manusia, sikap, tujuan, maksud, jalan hidup dan pendirian. (ensiclopedia hal 144)
Etika adalah fakta masyarakat, kelompok budaya atau sistem ritual yang di dapat melalui belajar dari pengalaman dan menemukan fakta.
Kata etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti sifat atau adat kebiasaan, atau ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hal dan kewajiban moral (KBBI, 2001: 309).
Beberapa referensi Buddhisme sering mendefinisikan etika sebagai moral, kebajikan, atau perbuatan baik. Ajaran Buddha tentang sila adalah etika buddhis, petunjuk dan latihan moral yang membentuk perilaku baik Kedua istilah etika dan moral sering dibedakan penggunaannya. Istilah etika lebih menunjuk pada pemikiran filsafat, sedangkan istilah moral menyangkut ajaran atau peraturan.
2. Etika dalam Buddhisme
Etika dalam hidup beragama sangat penting. Salah satu segi yang penting dari teori Buddha awal adalah”jalan kesempurnaan” adalah pendekatan secara bertahap. Kebajikan atau perilaku moral mengandung dua aspek, aspek negatif dari penghindaran kejahatan dan aspek positif dari penanaman kebajikan. Dimana keduanya merupakan pasangan terhadap satu sama lain.
Kebajikan moral dapat digolongkan dalam berbagai 3 kategori, yaitu:
![*](file:///C:/Users/acer/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
1. Melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
2. Melatih diri menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan.
3. Melatih diri menghindari perbuatan asusila.
4. Melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar.
5. Melatih diri menghindari segala minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran.
![*](file:///C:/Users/acer/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
1. Menghindari pembunuhan makhluk hidup.
2. Menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan.
3. Menghindari hubungan kelamin.
4. Menghindari ucapan yang tidak benar.
5. Menghindari segala minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran.
6. Menghindrari makan makanan pada waktu yang salah.
7. Menghindari menari, menyanyi, bermain musik dan melihat tontonan, tidak memakai bunga-bungaan dan wewangian guna mempercantik diri.
8. Menghindari menggunakan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi, besar, dan mewah.
![*](file:///C:/Users/acer/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
1. Menghindari pembunuhan makhluk hidup.
2. Menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan.
3. Menghindari hubungan kelamin.
4. Menghindari ucapan yang tidak benar.
5. Menghindari segala minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran.
6. Menghindrari makan makanan pada waktu yang salah.
7. Menghindari menari, menyanyi, bermain musik dan melihat tontonan.
8. Menghindari memakai bunga-bungaan, wewangian, perhiasan bersolek lainnya.
9. Menghindari menggunakan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi, besar, dan mewah.
10. Menghindari menerima emas dan perak.
Manusia sempurna adalah produk akhir dari pengembangan kebajikan moral mulai dari tingkat dasar. Kebajikan moral yang dasar sangat berguna bukan untuk mengembangkan melainkan untuk kerukunan, kedamaian, dan kemajuan sosial.
Nilai-nilai etika dalam Buddhisme:
1. Jalan Mulia Berunsur Delapan
a. Pandangan benar (samma ditthi)
b. Pikiran benar (samma sankappa)
c. Ucapan benar (samma vaca)
d. Perbuatan benar (samma kammanta)
e. Mata pencaharian benar (samma ajiva)
f. Daya upaya benar (samma vayama)
g. Perhatian benar (samma sati)
h. Konsentrasi benar (samma samadhi
2. Sila Upasaka-Upāasika
Dalam susunan masyarakat Buddhis terdiri atas kelompok (parisa) yaitu; kelompok masyarakat kevihāraan (bhikkhu-bhikkhuni) dan kelompok masyarakat awam (perumah-tangga). Perbedaan ini didasarkan pada kedudukan sosial mereka masing-masing dan bukan berarti semacam kasta. Agama Buddha tidak menghendaki adanya kasta dalam masyarakat.
![*](file:///C:/Users/acer/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
· Mempunyai keyakinan terhadap Tiratana.
· Mempunyai kesucian kemoralan.
· Tidak percaya akan perbuatan tahyul dan kabar angin atau desas-desus yang belum dicek kebenarannya.
· Tidak mencari sumber kebaikan dan kebenaran di luar Dhamma.
· Berbuat kebaikan sesuai dengan Dhamma.
![*](file:///C:/Users/acer/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
Hiri adalah perasaan malu melakukan perbuatan jahat, sedangkan ottappa adanya perasaan takut terhadap akibat perbuatan jahat yang dapat ia lakukan. Dua macam Dhamma itu juga dikatakan sebagai pelindung dunia, artinya bila manusia memiliki perasaan malu (hiri) dan perasaan takut (ottapa) untuk melakukan perbuatan jahat, maka dunia akan menjadi damai, tenang, dan tidak akan terjadi kejahatan-kejahatan yang dapat merugikan mahkluk hidup itu sendiri.
![*](file:///C:/Users/acer/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
Upasaka-upasika, adalah siswa yang dekat dengan guru dan menggunakan jubah putih. Mereka hidupnya melaksanakan lima aturan kemoralan (sila) dan dapat melatih delapan kemoralan (sila) karena dengan melatih lima kemoralan (sila) tersebut. Mereka yang melatih diri dan melengkapi hidupnya dengan aturan-aturan kemoralan, maka akan berakibat terlahir di alam bahagia (surga), bila melatih lima kemoralan (sila) dengan sungguh-sungguh akan berakibat memperoleh kebahagiaan, kemakmuran, kedamaian dan kesejahteraan, dalam kehidupan sekarang ini. Dan, bila melatih lima atau delapan kemoralan dengan sungguh-sungguh mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari dan dengan sempurna, sempurna pula kebajikan (paramita) maka akan berakibat mencapai pembebasan dari derita (dukkha) dan dapat meraih kebahagiaan tertinggi Nibbanna.
3. Pancasila-Pancadhamma
Seorang upasika-upasika hendaknya melatih lima sila Pancasila-Budddhis dan sekaligus melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini, lima macam Dhamma yang bagus, yang merupakan bahan untuk mentaati pancasila buddhis, yaitu:
- Metta-Karuna: cinta kasih dan belas kasihan. Dhamma pertama ini sama dengan sila pertama pancasila.
- Samma-Ajiva: Pencaharian benar. Dhamma kedua ini sama dengan sila kedua dari pancasila.
- Kamasavara: penahanan diri terhadap nafsu inderia. Dhamma ketiga ini sama dengan sila ketiga pancasila.
- Sacca: kebenaran benar dalam perbuatan, ucapan dan pikiran. Dhamma keempat ini sama dengan sila keempat dari pancasila.
- Sati-sampajanna: kesadaran benar. Dhamma kelima ini sama dengan sila kelima dari pancasila.
4. Sigalovada Suttanta
Merupakan sutta yang tergolong sangat populer dikalangan masyarakat buddhis, karena menguraikan tuntunan hidup manusia sebagaimana seharusnya, upasaka-upasika itu memiliki kewajiban yang komplek; baik kepada orang tua, guru-gurunya, siswa-siswanya, suami-isteri, pegawai atau pekerja bawahannya. Juga, kewajiban pada pemerintah, bangsa dan negara. Kewajiban tersebut bersifat timbal balik, saling mendukung membawa pada kebajikan dan kebahagiaan hidup sebagai bagian dari orang banyak.
5. Vyagghapajja-Sutta
Suttanta, merupakan sutta yang menguraikan bagaimana seharusnya upasaka-upasika meniti kehidupan dan meraih kebahagiaan dalam jalan kebenaran, kebajikan sesuai ajaran Dhamma. Ada empat macam Dhamma yang menimbulkan kebahagiaan dan berguna pada saat ini, antara lain:
Suttanta, merupakan sutta yang menguraikan bagaimana seharusnya upasaka-upasika meniti kehidupan dan meraih kebahagiaan dalam jalan kebenaran, kebajikan sesuai ajaran Dhamma. Ada empat macam Dhamma yang menimbulkan kebahagiaan dan berguna pada saat ini, antara lain:
· Rajin. Bekerja dengan ahli dan rajin, tidak membiarkan pekerjaan lewat atau mengakitbatkan banyak kerugian, kemerosotan dalam prestasi kerja. Sebaliknya, rajin dalam bekerja sehingga mencapai keberhasilan dan kemakmuran dalam hidup.
· Berhati-hati menjaga harta tidak membiarkan hilang, dicuri, atau digunakan untuk berfoya-foya sehingga harta atau prestasinya menjadi merosot dan mengalami kehancuran.
· Memiliki sahabat-sahabat yang baik. Sahabat yang baik atau sahabat yang berhati jahat sangat mempengaruhi hidup seseorang. Banyak orang mengalami kehancuran akibat bergaul dan bersahabat dengan orang-orang jahat.
· Cara hidup yang seimbang. Jika, menggunakan materi melebihi pendapatan sebagai akibatnya akan mengalami masalah serius yaitu kehancuran ekonomi.
Istilah yang dipakai dalam menyatakan baik dan buruk adalah kusala dan akusala. Kusala adalah sehat, baik dan akusala adalah tidak sehat dan tidak baik. Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan baik dan buruk, kriteriumnya adalah apakah perbuatan tersebut mendatangkan kebahagiaan atau tidak.
Salah satu cara untuk memutuskan apakah perbuatan itu baik dan buruk, benar dan salah dengan menggunakan pemeriksaan apakah ia akan membawa kelepasan (viraga) atau keterikatan (raga).
Menurut Buddhisme awal, kebahagiaan termulia harus dicapai melalui pengendalian semua kerinduan akan dunia (kesenangan indria), semua kedengkian, nilai-nilai yang keliru, sekaligus bersama-sama dengan keterikatan kekecewaan yang muncul akibat ketidakkekalan dan kepuasan yang tidak dapat bertahan lama. Ini semua dicapai melalui perhatian yang benar, lengkap dan sempurna.
Menurut analisis Sang Buddha, ada empat tipe orang di dunia ini :
· Orang yang menyiksa dirinya (attantapa)
· Orang yang menyiksa orang lain (parantapa)
· Orang yang menyiksa dirinya maupun orang lain (attantapo ca parantapo ca)
· Orang yang bukan menyiksa dirinya maupun bukan lainnya (neva attantapo na parantapo)
Jadi untuk Sang Buddha, nilai-nilai kebenaran adalah tidak terbedakan dari nilai moral atau nilai-nilai etika. Keduanya adalah nilai-nilai yang berpastisipasi dalam alam.
C. Penutup
Etika adalah peraturan yang dilakukan karena pertimbangan manusia. Dimana sebuah etika sangat pentinag dalam kehidupan sehari-harinya. Agar kita mempunyai etika yang baik maka mulai dari sekarang berbuat baik yang sesuai dengan ajaran Sang Buddha seperti halnya sebagai berikut, yaitu: menjalankan Pancasila Buddhis, Dasasila, Jalan Mulia Berunsur delapan, dll.
D. Referensi
Kalupahana, David J. 1986. Filsafat Buddha (Sebuah Analisis Historis). Jakarta: Erlangga
Tim Penyusun. 2003. Materi Kuliah Agama Buddha Untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha (Kitab Suci Vinaya Pitaka). Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar