jejak ajaran Buddha

jejak ajaran Buddha

SPACE IKLAN

SPACE IKLAN

Translate

Jumat, Maret 30, 2012

Sila dalam Tipitaka, Pengertian Sila, bentuk Sila


  • Sila dalam Tipitaka
dalam Kitab Tipitaka banyak kita jumpai sutta-sutta yang mengandung penjabaran tentang sila, samadhi dan panna dalam bentuk tiga rangkaian latihan. 13 urutan pertama dan sutta-sutta didalam Kitab Digha Nikaya adalah sutta mengenai sila, samadhi dan panna. Dari sutta-sutta tersebut terlihat bahwa sila merupakan pengalaman mendasar dari agama Buddha, diantaranya;
Dalam Brahmajala sutta menyebutkan cula sila, majjima sila dan maha sila yang senantiasa dilaksanakan dan tidal dilanggar oleh Sang Buddha. Dalam Samannaphala Sutta disebutkan bahwa seorang samana harus sempurna terlatih dalam sila, terkendali indriya-indriyanya dan memiliki kewaspadaan dan memiliki pengertian benar tentang fenomena alam. Dalam Ambattha sutta secara panjang lebar sang Buddha menjelaskan kepada Brahmana Ambattha tentang Vijja (abhinna) dan Carana (perilaku yang baik). Vijja dan Carana menunjukan samadhi dan sila. Dalam Sonadanda Sutta disebutkan sila membersihkan lagi saling berkaitan antara keduanya dan pentingnya latihan sila sebelum seseorang memulai latihan samadhi.
Dalam Raithavinita Sutta, Tisso Sikkaha dijelaskan dalam bentuk tujuh kesucian (Satta Visuddhiyo), yaitu;
  1. Kesucian Sila (sila visuddhi)
  2. kesucian Manas (citta visuddhi)
  3. Kesucian Pandangan. (ditthi visuddhi)
  4. Kesucian dalam melenyapkan keragu-raguan (kankha vitarana visuddhi)
  5. kesucian pengetahuan tentang hakikat yang sesungguhnya dari jalan yang benar dan yang salah (maggamagga nanadassana visuddhi)
  6. kesucian pengetahuan tentang hakikat yang sesungguhnya dari kemajuan (patipada nanadassana visuddhi)
  7. kesucian pengetahuan tentang hakikat yang sesungguhnya dari jalan suci magga nana visuddhi).
Sila visuddhi dan citta visuddhi masing-masing merupakan sila dan samadhi, sedangkan kelima visuddhi lainnya merupakan panna. Dalam visuddhi magga dan vimutti magga dijumpai penjabaran terinci tentang ketujuh visuddhi tersebut. Kitab Visuddhimagga terdiri dari 223 Bab untuk sila dan Dutangga, 11 Bab berikutnya untuk Samadhi dan 10 Bab terakhir untuk panna.
  • Pengertian Sila
Tardisi Buddhis membicarakan demikian banyak tentang sila yang dijumpai dalam kitab-kitabnya. Buddhaghosa dalam Kitab Visuddhimagga memberikan empat sikap batin atau kehendak (cetana). Kedua menunjukan hanya pengindraan (virati) yang merupakan unsur batin (cetasika). Ketiga, menunjukan pengendalian diri (samvara) dan Keempat, menunjukan tiada pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan (Avitikhama). Mereka disebut sila dalam pengertian Bahwa, pertama menimbulkan harmoni dalam hati dan pikiran (samadhana), dan kedua mempertahankan kebaikan dan mendukung (upadharana) pencapaian batin yang luhur. Dan ciri (lakkhana), fungsi (rasa), wujud (paccupatthana) dan sebab terdekat yang menimbulkan (padatthana) dari sila adalah sebagai berikut;
Fungsi (rasa) sila, pertama adalah menghancurkan kelakuan yang salah (dussiliya) dan kedua menjaga seseorang agar tetap tidak bersalah. Wujud (paccupatthana) sila adalah kesucian (soceyya). Kita mengenal seseorang dengan melihat rupanya, demikian pula kita mengenal sila dengan wujudnya yang suci dalam perbuatan jasmaniah. Sebab terdekat yang menimbulkan (padatthana) sila adalah adanya Hiri dan Ottappa. Hiri adalah malu berbuat salah, Ottappa adalah takut akibat perbuatan salah. Hiri-Ottapa dalah pelindung dunia. jika tidak adalagi Hiri dan Ottappa dalam diri akan berkecamuk kekacauan yang akan merugikan diri sendiri maupun masyarakat luas. Sebaliknya jika terdapat Hiri-Ottappa dunia ini penuh dengan ketentraman dan kedamaian.
Faedah sila banyak disebutkan dalam khotbah-khotbah Sang Buddha, diantaranya yang paling banyak disebut adalah ketiadaan penyesalan (avippatisara). Batin yang bebas dari penyesalan akan mendapat ketenangan dan akan mudah mencapai samadhi. Dalam Anguttara Nikaya (IV, 99) Sang Buddha bersabda kepada Ananda sebagai berikut;
"Ananda, Sila memiliki tiada penyesalan
Sebagai tujuan dan buahnya"
Dalam maha Parinibbana Sutta, Sang Buddha bersabda kepada gharavasa tentang faedah dari sila, sebagai berikut; sila menyebabkan seseorang memiliki banyak kekayaan, nama dan kemasyurannya akan tersebar luas, dia menghandiri semua pertemuan tanpa takut dan keragu-raguan karena ia menyadari bahwa ia tidak akan dicela atau didakwa orang banyak, sewaktu meninggal dunia ahtinya tentram, akan terlahir disuatu tempat yang membahagiakan.
dalam Digha Nikaya (II, 69-70), Sang Buddha bersabda kepada para bhikkhu sebagai berikut;
"Jika seorang bhikkhu ingin dicintai dan dihormati oleh sesama bhikkhu dia harus menjalankan sila".
Kutipan-kutipan tersebut merupakan sebagian kecil tentang faedah sila yang dibabarkan oleh Sang Buddha sendiri. Sila adalah dasar penghidupan yang jujur dan merupakan tangga untuk mencapai surga. Manum, tujuan pemupukan sila adalah mencapai Nibbana. Oleh karena itu, ciri sila juga jalan untuk mencapai Nibbana. Sila dari seseorang dikatakan tidak bersih apabila sila itu telah dilanggar dengan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan sila itu sendiri. Bagaimanapun terjadinya pelanggaran itu, godaan adalah akar dari pelanggaran sila sehingga sila itu menjadi tidak bersih.
Noda dari sila tidak dapat dihilangkan dengan mencucinya dengan air sebanyak tujuh samudra, tidak dapat dihilangkan dengan apapun kecuali hanya dengan melaksanakan sila. sebaliknya sila dikatakan bersih apabila tidak ada pelanggaran sila. Dalam sutta-sutta disebutkan bahwa kebersihan sila dapat dipertahankan dengan menyadari bahaya dari pelanggaran sila dan manfaat mempertahankan sila.
  • Bentuk Sila
Dalam kitab buddhis disebutkan demikian banyaknya sila yang diamalkan oleh umat Buddha yang kemampuan, kesempatan dan tingkat perkembangan batin mereka berbeda-beda. Dalam Visuddhimaggasila-sila itu dikelopokan atas beberapa bagian dan diterangkan secara terinci agar mendapat gambaran seberapa jauh sila itu dihayati dan diamalkan oleh umat Buddha. Namun, dalam klasifikasi-klasifikasi itu tetap terkandung pengertian bahwa sila menimbulkan harmoni dalam batin dan mendukung tercapainya batin yang luhur. Sila itu sebenarnya hanya satu macam, tetapi bila dipandang dari berbagai aspek kelihatannya beranekaragam.
Dalam kesempatan kali ini kita tidak akan membicarakan rincian klasifikasi tersebut, tetapi beberapa yang dianggap perlu untuk diketahui untuk dihayati dan melaksanakannya dengan baik. Sila merupakan segi mendasar dalam Agama Buddha yang mencakupi, pertama batin yang dibangun dengan menghindari perbuatan buruk, dan kedua pikiran yang berhubungan dengan pelaksanaan peraturan-peraturan yang berperan untuk kebersihan sila. Dengan kata lain sila itu mempunyai dua aspek, yaitu; aspek negatif (varitta sila) dan aspek positif (carita sila).
Varitta sila menekankan pada tidak melakukan perbuatan buruk dan Carita sila menekankan perlunya seseorang menimbun perbuatan baik dan melaksanakan apa yang merupakan kewajibannya. Setiap rumusan sila mempunyai kedua aspek tersebut diatan. Misalnya, antara lain dalam Digha Nikaya (I, 63).
"(i)Ia menghindari pembunuhan, membuang pentungan dan pedang; (ii) Ia hidup dengan penuh cinta kasih dan welas asih demi kesejahteraan dan kebahagiaan semua mahkluk"
Bagian pertama (i) sabda Sang Buddha tersebut diatas mengajarkan orang untuk tidak melakukan pembunuhan; bagian kedua (ii) menyayangi semua mahkluk dan meningkatkan kebahagiaan merekan. Dari sini melihat bahwa aspek negatif adalah pendahulu dari aspek positif, tetapi kedua-duanya saling bergantungan. Aspek negatif merupakan persiapan dan menyiapkan lahan yang baik untuk aspek positif. Seumpama seseorang yang akan menanam padi di sawah, maka sebelum menanam padi ia terlebih dahulu harus membersihkan sawahnya dari rumput-rumput agar padinya dapat tumbuh dengan baik dan membrikan mereka hasil yang diharapkan.
Aspek negatif mempunyai nilai menjauhkan pikiran dan objek yang bukan kebaikan dan aspek positif memusatkan seluruh pikiran pada kebaikan, sehingga semaksimal mungkin dapat melakukan kewajiban. Disamping itu, terdapat juga bentuk sila yang dinamakan Pakati sila dan Pannati sila. Pakati sila adalah sila alamiah, yang bersifat moral dan terdapat hampir semua agama serta berlaku dimana-mana tanpa dibatasi oleh waktu, misalnya pancasila. Pannati sila adalah sila yang dirumuskan oleh Sang Buddha yang khusu diperuntukan bagi cara hidup dan tujuan hidupnya yang istimewa.
Pakati sila bila dilanggar, baik oleh bhikkhu atau gharavasa akan berakibat buruk dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendapatng, misalnya membunuh mahkluk hidup. Sedangkan Pannati dila bila dilanggar oleh gharavasa tidak dicela atau tidak akan berakibat buruk. Akan tetapi, bila dilanggar oleh seorang bhikkhu maka ia akan dicela oleh para bijaksana. Misalnya, apabila makan-makanan diluar waktu yang ditetapkan atau melihat tontonan bagi seorang gharavasa tidak dicela atau akan berakibat buruk.
Sila dalam pengertian yang luas adalah menghilangkan pembawaan yang tidak baik seperti keserakahan, itikad buruk, iri hati, dll, serta menimbun perbuatan baik seperti berdana, itikad baik, kesediaan untuk memanfaatkan dll. 
Rumusan Pancasila, atthasila, dan dasasila adalah sila dalam aspek negatif yang merupakan latihan untuk memiliki  sila dan sebagai tahap dasar guna pengembangan batin agar dapat mencapai tujuan tertinggi.

Sikkhapada
Didepan telah disebutkan bahwa sila adalah sikap batin atau kehendak yang tercetus sebagai ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar. Sila seperti itu hanya dimiliki oleh mereka yang telah mencapai tingkat kesucian. Bagi mereka yang belum mencapai tingkat kesucian itu, perlu melatih diri dengan melaksanakan peraturan-peraturan yang sesuai dengan cara hidup dan kemampuan masing-masing. Umat Buddha bila dilihat dari cara menjalani kehidupan terdiri dari dua kelompok besar, yaitu;
Gharavasa
gharavasa adalah orang yang menjalani hidup berkeluarga atau tidak; mempunyai pekerjaan, seperti; petani, pedagang, militer, dll yang memberikan penghasilan utuk biaya kehidupan mereka. Gharavasa terdiri atas; upasaka parisad dan upasika parisad.
Pabbajita
Pabbajita adalah orang yang meninggalkan kehidupan berumah tangga, keduniawian, dan menjalani hidup suci untuk mencapai Nibbana. Pabbajaita menerima dana yang layak bagi seorang pertapa dari Gharavasa yang memiliki saddha serta simpati. Pabbajita terdiri dari bhikkhu, bhikkhuni, samanera, dan samaneri.

Silasikkha atau sikkhapada disebut juga Vinaya. Istilah vinaya tidak hanya berarti sikkhapada untuk pabbajita saja, tetapi juga untuk gharavasa. Sikkhapada untuk gharavasa mempunyai tujuan yang sama Vinaya untuk pabbajita, yaitu menjauhkan hal-hal yang merugikan. Dengan demikian dalam agama Buddha ada dua jenis Vinaya yang akan dilaksanakan oleh dua kelompok umat Buddha, yaitu; Agariya Vinaya untuk gharavasa dan Anagariya Vinaya untuk pabbajita.

Meteri Kuliah Agama Buddha untuk Perguruan Tinggi (Kitab Suci Vinaya Pitaka) Hal 20-26. Jakarta: CV Dewi Kayana Abadi.

Selasa, Maret 27, 2012

SILA

Dalam bahasa Latin, istilah-istilah ethos, ethos dan ethikos itu disebutkan dengan kata "mos" dan "moralitas". Oleh sebab itu, kata "ethika" sering pula dijelaskan dengan kata "moral". dalam perkembangan selanjutnya dikalangan ilmu pengetahuan kata etika itu kemudian mendapat arti yang lebih mendalam dari pada kata moral. Kata moral telah mendangkal artinya. Kadang-kadang "moral" dan "mos" hanya mengenai perilaku lahiriah seseorang, sedangkan etika tidak henya menyinggung perbuatan seseorang yang lebih mendalam. dalam Dhamma Cakkapavattana Sutta, Sang Buddha mengjarkan Empat Kesunyataan Mulia (Cattaro Aryasaccani) kepada lima orang pertapa. Dalam Sutta ini, sang Buddha menyebutkan Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha, disebut dengan jalan tengah yang terdiri dari delapan unsur, yaitu;
"pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penhidupan benar, usaha benar, kesadaran benar, dan samadhi benar".
dalam sutta itu disebutkan juga bahwa jalan tengah itu harus dikembangkan untuk melenyapkan dukkha. Dalam Cullavedalla Sutta disebutkan bahwa ucapan benar yang manapun, perbuatan benar yang manapun, dan mata pencaharian benar yang manapun- kesemuanya itu disusun dalam kelompok sila. Usaha benar yang manapun, kesadaran benar yang manapun dan pemusatan pikiran yang manapun kesemuanya itu disusun dalam kelompok samadhi. Pandangan benar yang manapun, dan pikiran benar yang manapun, kesemuanya itu disusun dalam kelompok panna.
Sila, samadhi, dan panna tersebut tidak disusun sesuai dengan jalan tengah, tetapi jalan tengan itu disusun dengan pengembangan sila, samadhi, dan panna. Yang dimaksudkan dengan disusun adalah direnungkan, dihasilkan, dikembangkan, yang dihayati dengan penghayatan. Dengan kata lain dapat dikatakan dengan singkat bahwa jalan tengah adalah hasil dari pengembangan dari kelompok sila, kelompok samadhi, dan kelompok panna.
Padanan istilah moral dalam Agama Buddha adalah sila, karena sila merupakan perbuatan lahiriah seperti ucapan dan perbuatan jasmani. istilah sila berasal dari Bahasa Sansekerta dan Bahasa Pali. Kata sila yang dipergunakan oleh umat Buddha mempunyai banyak arti. Sila dapat berarti; norma (kaidah), peraturan perilaku, sopan-santun, dsb. Disamping itu, sila berarti sikap-batin yang sesuai dengan norma dan menunjukan perilaku yang sesuai dengan norma. Sila menunjukan norma dan norma itu baik. Sila juga menunjukan sikap-batin yang sesuai dengan norma dan menyatakan perilaku yang sesuai dengan norma yang baik. perilaku seseorang merupakan pantulan dari norma-norma yang ditaatinya. Perilaku itu memperlihatkan dirinya melaui tiga pintu; jasmani, ucapan, dan pikiran.
Dalam kode disiplin ada peraturan-peraturan tertentu yang secara langsung berkenaan dengan perilaku dari seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu ada juga yang berkenaan dengan perilakunya dan kehidupan secara pribadi. Demikian pula dalam Agama Buddha, didalam tradisi Buddhis dibedakan peraturan-peraturab yang berkenaan dengan kehidupan bermasyarakat yang membawa kehalusan budi pekerti dan peraturan dasar untuk mencapai kesucian. Sila mendapat kedudukan tertentu dalam Agama Buddha, karena mempunyai hubungan dengan kamma. Hal ini terlihat misalnya dalam ungkapan"adammam nirayamam neti, dhamma papeti sugatim", artinya " Yang tidak sesuai dengan Dhamma masuk neraka, yang sesuai dengan Dhamma masuk surga". Sila merupakan dasar yang utama dalam Agama Buddha, mencakup semua sikap-sikap yang baik yang termasuk dalam ajaran moral atau etika dalam Agama Buddha. Didalam pengmalanajaran agama terlihat bahwa sila merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk mencapai peningkatan batin yang luhur. Hal ini jelas terlihat dari sabda Sang Buddha yang tercatat dalam Samyutta Nikaya (V. 143).

VINAYA ATTHAKATHA DAN VINAYA


  • Vinaya Atthakatha
Kadang-kadang istilah yang dipergunakan dala, Vinaya memerlukan penjelasan atau penafsirab. penjelasan atau penafsiran itu disebut Atthakatha. Krdudukan Atthakatha berada dibawah Tipitaka. Kemudian dibuat penjelasan tambahan mengenai Atthakatha sebagai pelengkap. Kitab itu disebut dengan Tika. Dengan berjalannya waktu, kemudian Tika itupun dibuatkan pula penjelasannya. Penjelasan ini disebut Anutika atas Matika.
Kitab Atthakatha ditulis oleh mereka yang memahami ajaran Agama Buddha, dapat dipercaya dan menjadi pegangan Pitaka. Tika dan Anutika mengandung penjelasan dan pendapat acariya yang timbul kemudian kurang dipercaya sebagai sumber yang mempunyai otoritas.
Kitab lain yang ditulis oleh berbagai acariya menurut penafsirannya sendiri tidak termasuk kedalam Tika dan Anutika dan dinamakan "Ajaran para guru" (Acariyavada). Akan tetapi, istilah Acariyavada ini tidak sama dengan istilah Acariyavada yang merupakan lawan dari Theravada.
  • Vinaya
kosakata Vinaya berarti ; mengusir, melenyapkan, memusnahkan segala perilaku yang menghalangi kemajuan dalam penungkatan batin atau sesuatu yang membimbing keluar dari samsara. Sikap seorang  bhikkhu yang menjalani Vinaya dengan teguh tanpa melakukan pelanggaran-elanggaran apapun, dinamakan sikap berhati-hati. Seringkali disebut dalam vinaya mengenai bhikkhu-bhikkhu yang bersikap hati-hati (kukkuccayanta bhikkhu), yang tidak akan memerima sesuatu benda sebelum diijinkan oleh Sang Buddha. Disamping itu seringkali disebutkan juga tentang bhikkhu-bhikkhu yang sedikit kebutuhannya (appiccha bhikkhu), yang merasa maha melihat kelakukan para bhikkhu lainnya yang kurang patut atau tidak berhati-hati.
Disini nampak sekali lagi hubungan yang penting antara Dhamma dan Vinaya. Dalam sikap berhati-hati dan sedikit kebutuhan itu terdapatlah sejumlah sikap batin yang baik dan bermanfaat bagi pelaksanaan Dhamma, antara lain; hiri dan ottappa. Sedikit kebutuhan berarti pula puas dengan seadanya (santutthi), suatu sikap yang sangat berharga bagi seorang bhikkhu. Sikap batin lain yang sangat penting dalam sikap berhati-hati dan kesederhanaan itu ialah sati (kesadaran), yang merupakan landasan bagi latihan ditingkat apapun juga. Dengan kesadaran, betapapun banyaknya peraturan tentu akan dapat dipelihara atau ditaati sebaik-baiknya. Bahkan kesadaran (sati) akan menjaga pikiran kita dari unsur-unsur yang merugikan.
Sikap berhati-hati menunjukan tiadanya pengendalian diri tiada ke kesadaran. Mungkin juga tiadanya hiri dan ottappa. Sering pula terdapat nafsu-nafsu (tanha) yang tidak disadari keangkuhan (mana) tidak mau menempatkan diri dibawah Vinaya; pandangan salah(miccha-ditthi) yang sering kali menyertai keangkuhan dan membuat bermacam-macam alasan untuk tidak melaksanakan Vinaya.
Manfaat dan Sifat Vinaya
Untuk apakah Vinaya ditetapkan...? Sang Buddha menetapkan Vinaya bagi para bhikkhu berdasarkan 10 alasan, yaitu;
  1. Kebaikan Sangha. (tanpa Vinaya, eksistensi Sangha tidak akan bertahan lama)
  2. Kesejahteraan Sangha. (sehingga bhikkhu akan sedikit mendapat rintangan dan hidup damai)
  3. Mengendalaikan para bhikkhu yang tidak teguh (yang dapat menimbulkan persoalan dalam Sangha).
  4. Kebahagiaan Bhikkhu yang berkelakuan baik (karena pengamalan sila dengan baik menyebabkan kebahagiaan hidup sekarang ini).
  5. melindungi diri atau melenyapkan kilesa yang telah ada (karena banyak kesulitan, dapat diatasi dengan laku moral yang baik).
  6. mencegah timbulnya kilesa yang abtu (kilesa tidak akan timbul pada orang yang memiliki sila yang baik).
  7. memuaskan mereka yang belum puas dengan Dhamma (karena orang yang belum puas dengan Dhamma akan puas dengan tingkah laku bhikkhu yang baik).
  8. menambah keyakinan mereka yang telah mendengarkan Dhamma (karena orang yang telah mendengarkan Dhamma akan bertambah keyakinannya melihat bhikkhu yang baik).
  9. menegakkan Dhamma yang benar (Dhamma akan bertahan lama bila Vinaya dilaksanakan dengan baik oleh Bhikkhu).
  10. Manfaat Vinaya itu sendiri (vinaya dapat memberikan manfaat kepada mahkluk-mahkluk, terbebas dari samsara).
Dalam kitab Angittara Nikaya terdapat dua macam lagi;
"Untuk memperoleh sokongan hidup gharavasa dan untuk memusnahkan kelompok bhikkhu yang bertindak buruk".
Alasan pertama merupakan hal yang penting untuk Sangha dan kedua memperlihatkan bagimana Vinaya telah melindungi Sangha. Dhamma telah terpelihara sampai sekarang berkat adanya Sangha; dan Sangha ini terpelihara karena adanya Vinaya yang ditaati. Jelaslah bahwa Vinaya memelihara Dhamma seumpama seutas benang mengikat bunga-bunga menjadi satu, sehingga tidak mudah dicerai-beraikan oleh angin. Sang Buddha menetapkan Vinaya tidak hanya bertujuan untuk kebajikan para bhikkhu pada umumnya. Maka patutlah Vinaya ini dijunjung tinggi oleh para bhikkhu yang baik dan oleh umat yang mengerti Vinaya. Bagaimana pentingnya Vinaya dapat dilihat dari keputusan para Arahat pada sidang Sanghayana Pertama untuk mengucapkan kembali Vinaya dan penetapan Vinaya Pitaka sebagai bagian pertama didalam Kitab Suci Tipitaka.
"Vinaya adalah jiwa dari agama (sasana); selama Vinaya tegak  berdiri, agamapun tegak berdiri. Oleh karena itu, marilah kita ucapkan ulang Vinaya terlebih dahulu".
Mengajarkan Dhamma tanpa Vinaya, sama artinya dengan mengajarkan jalan tanpa menunjukan bagaimana cara memulai dan menempuhnya. Sebaliknya, Vinaya tanpa Dhamma hanya merupakan peraturan-peraturan konong yang sedikit manfaatnya. Hal ini berlaku bagi bhikkhu maupun gharavasa. Oleh karena setiap bhikkhu berkewajiban menjalankan Vinaya dan kriteria hidup baik-buruknya seorang bhikkhu berdasarkan kepatuhannya terhadap Vinaya, maka timbul dua komplikasi, yaitu;
  • Mereka yang tidak taat dan tidak sungguh-sungguh melaksanakan Vinaya. Oleh sebab itu sukar mengendalikan Bhikkhu sangha dengan baik.
  • Mereka yang melaksanakan Vinaya dengan sungguh-sungguh, tetapi dengan membabi buta dan menganggap diri mereka lebih baik dari pada bhikkhu-bhikkhu lainnya yang mereka cela karena tidak melaksanakan Vinaya. Mereka akan merasa jengkel berada dalam pertemuan bhukkhu Sangha. Oleh karena sikap mereka yang demikian itu, mereka tidak meraih kebahagiaan.
Vinaya akan membawa kebahagiaan bagi mereka yang menjalaninya dengan benar. Akan tetapi, menumbulkan kejengkelan, kegelisahan atau ketegangan dalam diri bhikkhu yang menjalankan Vinaya dengan "kesungguhan yang salah".

Tim Penyusun. 2003. Materi Kuliah Agama Buddha (Vinaya Pitaka), hal 12-16. CV Dewi Kayana Abadi.

Selasa, Maret 20, 2012

Khandhaka dan Parivara

Khandhaka
Bagian Khandhaka terbagi menjadi dua macam, yaitu;

  1. Maha Vagga
  2. Culla Vagga



  1. Maha Vagga mengandung catatan rangkaian peristiwa mulai sesaat setelah mencapai penerangan sempurna sampai terbentuknya Sangha dan berbagai cara penabhisan  calon bhikkhu serta peristiwa-peristiwa yang menyebabkan timbulnya suatu peraturan pelatihan. Peraturan pelatihan itu berada tidak termasuk Patimokha sila dan terdiri atas;
  • Mahakhandha, bagian ini mengenai peristiwa sesaat setelah mencapai penerangan sempurna hingga terbentuknya Sangha dan berbagai metode penerimaan menjadi bhikkhu. menjelaskan tentang Upasampada.
  • Uposatha Khandhaka, bagian ini mengenai pengumuman hari-hari uposatha dan berbagai jenis sima. Sima adalah tempat penabhisan para Bhikkhu.
  • Vassupanayika Khandhaka, bagian ini mengenai memasuki vassa dan cara pelaksanaannya; yang disampaikan oleh Mahinda kepada Raja Devanampiyatissa bagai mana perlunya mendirikan sebuah vihara do cetiyagiri.
  • Pavarana Khandhaka, bagian ini mengenai hari pavarana, pada saat ini bhikkhu diminta untuk berbicara satu dengan yang lainnya terntang setiap kesalahan atau perilaku yang tidak patut yang mereka lihat, dengan atau curigai yang dilakukan selama vassa; dan bilamana pelaksanaan vassa itu gagal.
  • Camma Khandhaka, bagian ini mengenai doperbolehkannya bhikkhu memakai sandal oleh Sang Buddha.
  • Bhesajja Khandhaka, bagian ini mengenai peraturan-peraturan untuk bhikkhu yang akan menjalankan operasi dan pemakaian obat-obatan yang diperbolehkan oleh Sang Buddha.
  • Kathina Khandhaka, bagian ini mengenai peraturan latihan yang berhubungan dengan bahan jubah dan enam jenis jubah yang diperbolehkan untuk bhikkhu.
  • Champoyya Khandhaka, bagian ini mengenai kegiatan-kegiatan Sangha yang patut dan yang tidak patut. Kasus bhikkhu-bhikkhu Campa.
  • Kosambika Khandhaka, bagian ini mengenai perselisihan di kosambi dan di hutan Parileyyaka sewaktu Sang Buddha menjalankan vassa ke-10. Kasus bhikkhu-bhikkhu di Kosambi.
2. Culla Vagga mengandung catatan sejarah peraturan pengelolaan Sangha sampai kepada Sanghanaya ke II, seratus tahun setelah Sang Buddha Parinibbana. Di dala Culla Vibhanga, hal-hal yang dikupas dalam Culla Vibhanga diberikan secara lebih ringkas bila dibandingkan dengan Maha Vibhanga.
  • Kamma Khandhaka, bagian ini mengenai tindakan-tindakan for,al yang harus diambil oleh Sangha dalam keadaan tertentu,
  • Parivasika Khandhaka, bagian ini mengenai tingkah laku bhikkhu yang dalam masa percobaan karena beberapa pelanggaran disiplin,
  • Samuccaya Khandhaka, bagian ini mengenai hukuman dan rehabilitas seelah menjalankan hukuman,
  • Samatha Khandhaka, bagian ini mengenai masalah hukum dan penyelesaiannya,
  • Kudhakavatthu, bagian ini mengenai pelanggaran-pelanggaran ringan seperti memelihara jenggot dan kumis,
  • Senasana Khandhaka, bagian ini mengenai perilaku yang baik para bhikkhu di dalam tempat tinggal (kuti),
  • Sanghabeda Khandhaka, bagian ini mengenai peristiwa-peristiwa yang menjurus ke perepecahan Sangha yang disebabkan oleh Devadatta,
  • Vatta Khandhaka, bagian ini mengenai kegiatan-kegiatan rutin keviharaan dan pelaksanaan-pelaksanaan sehari-hari, seperti pindapata, makan dan berdiam dalam hutan,
  • Patimikhathapana Khandhaka, bagian ini mengenai saat pembacaan Pathimokha,
  • Bhikkhu Khandhaka, bagian ini mengenai Sanghayana pertama,
  • Sattasati Khandhaka, bagian ini mengenai Sanghayana Kedua,
PARIVARA
Parivara merupakan rangkuman dan pengelompokan peraturan-peraturan dalam Vinaya yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk tujuan memberikan petunjuk dan pemeriksaan. Aturan-aturan dalam Sutta Vibhanga dan Khandhaka-Khandhaka disertai cerita-cerita mengenai terjadinya aturan itu. Beberapa diantaranya benar-benar formal, yang semata-mata menunjukan bahwa para Bhikkhu atau beberapa Bhikkhu telah melakukan pelanggaran atau mengikuti kebiasaan tertentu yang menyebabkan Sang Buddha menetapkan suatu ketetapan. Akan tetapi, cerita yang nyatadimasukan dalam Mahavagga dan Cullavagga serta sutta dari Sutta Pitaka.
Aturan-aturan penerimaan dalam Sangha didahului oleh cerita mengenai kejadian setelah mencapai Peneranga Sempurna, awal pembabaran Dhamma dan penerimaan siswa-siswa pertama. Cerita mengenai Rahula diberikan sehubungan dengan syarat-syarat yang diperlukan untuk menerima pabajja. Aturan-aturan mengenai perpecahan adalah tingkah laku Devadatta.


Referensi;
2003. Materi Kuliah Agama Buddha untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha (Kitab Suci Vinaya Pitaka) hal 9-12. CV. Dewi Kayana Abadi; Jakarta.
sebagian kata-kata sudah diganti oleh penulis. Foe Ya

Senin, Maret 12, 2012

Sutta Vibhanga

Sutta Vibhanga ada dua macam jenis;
a.       Maha Vibhanga (bhikkhu Vibhanga)
b.      Cula Vibhanga (Bhikkhuni Vibhanga)
Penjelasan

a.       Maha Vibhanga

Maha Vibhanga disebut juga Bhikkhu Vibhanga yang berisikan 227 peraturan latihan yang menjadi sumber daripada Patimokha-Sila. Peraturan latihan ini tidak diberikan sekaligus, tetapi setelah terjadi kasus demi kasus yang menyangkut perilaku para Bhikkhu yang dicela oleh para bijaksana. Maha Vibhangga terdiri dari;
1.       Parajika (Vinaya Pitaka III dan seterusnya)
Bagian ini terdiri dari empat disiplin latihan moral, apabila salah satu latihan dilanggar oleh Bhikkhu maka Bhikkhu harus keluar dari Kebhikkhuan. Bahkan tidak dapat menjadi Bhikkhu kembali. Karena pelanggaran Parajika merupakan pelanggaran yang paling berat.
2.       Sanghadisesa (Vinaya Pitaka III, 110 dan seterusnya)
Bagian Sanghadisesa terdiri dari tiga belas (13) latihan peraturan disiplin. Apabila peraturan ini atau salah satu dari peraturan ini dilanggar maka seorang bhikkhu harus melakukan manata selama 7 hari di sebuah tempat. Bhikkhu/ni tidak boleh berbicara atau diajak berbicara kepada atau dari orang lain. Setelah Bhikkhu melakukan Manata, kemudian Bhikkhu harus memanggil sekurang-kurangnya 20 Bhikkhu untuk melakukan penabhisan ulang, agar dapat diterima kembali dalam Sangha. tulisan telah mengalami perubahan dari buku asli. wwwyaindra.blogspot.com
3.       Aniyata (Vinaya Pitaka III, 187 dan seterusnya.
Bagian ini terdiri dari dua macam yang berkenaan dengan pelanggaran yang tidak jelas.
4.       Nissagiya Pacittiya (Vinaya Pitaka 195, dan seterusnya)
Bagian ini terdiri dari tiga puluh macam peraturan disiplin moral, apabila salah satu atau lebih peraturan dilanggar, maka dapat menyebabkan keruntuhan moral Bhikkhu dalam mental-spiritual.
5.       Pacittiya (Vinaya Pitaka IV, 1 dan seterusnya)
Bagian ini terdiri dari 92 latihan peraturan moral yang apabila dilanggar menyebabkan kemerosotan moral.
6.       Patidesaniya (Vinaya Pitaka IV, 175 dan seterusnya)
Bagian ini terdiri dari empat latihan peraturan moral yang apabila dilanggar memerlukan pengakuan bersalah.
7.       Sekhiyadhamma (Vinaya Pitaka IV, 185 dan seterusnya)
Peratuan Sekhiyadhamma atau yang disebut dengan Sekhiya terdiri dali 75 latihan peraturan moral yang digunakan sebagai latihan dalam menjaga tata krama seorang samana atau Bhikkhu.
8.       Adhikaranasamantha (Vinaya Pitaka IV, 207 dan seterusnya)
Peraturan Adhikaranasamantha terdiri dari tujuh latihan peraturah moral yang berkenaan dengan proses hukum untuk penyelesaian permasalahan dalam Sangha.
Bhikkhu Vibhanga atau Maha Vibhangga merupakan peratuan Bhikkhu yang terdiri dari 227 latihan peraturan moral. Maha Vibhanga sampai sekarang masing dibacakan oleh para Bhikkhu setiap hari Uposatha, tanggal 1 dan 15 pada penanggalan Bulan atau Solar.

b.      Cula Vibhanga.

Dalam Mazhab Theravada, Cula Vibhanga sudah tidak berlaku lagi, terutama di Indonesia. Sebab, tidak adanya Bhikkhuni dalam Theravada Indonesia. Tetapi, Cula Vibhanga masih terpakai sebagai pengetahuan kepada umat awam ataupun samana. Cula Vibhanga terdiri dari 311 latihan peraturan moral yang terdiri dari
-          Delapan peratuan Parajika.
-          17 Sanghadisesa.
-          30 Nissagiya Pacittiya.
-          116 Pacittiya.
-          Delapan Patidesaniya.
-          75 Sekhiyadhamma.
-          Tujuh Adhikaranasamantha.
Referensi.
Materi Kuliah Agama Buddha untuk Perguruan Tinggi (Kitab Suci Vinaya Pitaka). 2003. Jakarta; CV Dewi Karana  Abadi.

DIALOG SEBAGAI ALAT PERDAMAIAN

Dialog antar agama kadang berisikan tentang pertentangan akibat perbedaan. Perbedaan antar agama tidak lebih dari kurangnya rasa saling menghormati, bilamana perbedaan menjadi suatu pertentangan selayaknya diperlukan paham kebebasan berbicara dan mendengar pengetahuan dari lain agama. Meskipun setiap orang berhak berbicara dan mendengarkan agama lain, tetapi sering kali terjadi ketidakpuasan dari perbedaan. Agama satu tidak setuju dengan agama yang lain.
Agama memang menjadi suatu momok yang paling penting dalam negara dengan basis keagamaan yang kuat, sering menimbulkan bentrokan perbedaan agama. “Hans Kung: there will be no peace among nations unless there is peace among religions. And there will be no peace among religions unless there is greater, more effective dialogue among them”. Perdamaian didalam bangsa maupun antar bangsa dapat terjadi jika dimulai dari saling mengerti perbedaan agama. Sudah sering terjadi peperangan antar agama, bahkan agama dapat menimbulkan perang dunia ketiga. Bahkan di Negara Indonesia saja sudah pernah terjadi perang antar agama, di suatu daerah tertentu. Antisipasi dalam menanggulangi pertikaian antar agama dengan menggunakan dialog, karena dialog dianggap sebagai alat penghubung yang paling efektif. Dari dialog, orang dapat memahami perbedaan dengan agama lain, mendengarkan dan memberikan pendapat, saling memberikan pengetahuan. Menciptakan rasa saling menghormati perbedaan, menggunakan perbedaan sebagai pengetahuan.
Refernsi
Knitter, Paul F. Christian Attitudes Toward Other Religion: The Challenge of Commitment and Openess.

DIALOG SEBAGAI ALAT PERDAMAIAN


Dialog antar agama kadang berisikan tentang pertentangan akibat perbedaan. Perbedaan antar agama tidak lebih dari kurangnya rasa saling menghormati, bilamana perbedaan menjadi suatu pertentangan selayaknya diperlukan paham kebebasan berbicara dan mendengar pengetahuan dari lain agama. Meskipun setiap orang berhak berbicara dan mendengarkan agama lain, tetapi sering kali terjadi ketidakpuasan dari perbedaan. Agama satu tidak setuju dengan agama yang lain.
Agama memang menjadi suatu momok yang paling penting dalam negara dengan basis keagamaan yang kuat, sering menimbulkan bentrokan perbedaan agama. “Hans Kung: there will be no peace among nations unless there is peace among religions. And there will be no peace among religions unless there is greater, more effective dialogue among them”. Perdamaian didalam bangsa maupun antar bangsa dapat terjadi jika dimulai dari saling mengerti perbedaan agama. Sudah sering terjadi peperangan antar agama, bahkan agama dapat menimbulkan perang dunia ketiga. Bahkan di Negara Indonesia saja sudah pernah terjadi perang antar agama, di suatu daerah tertentu. Antisipasi dalam menanggulangi pertikaian antar agama dengan menggunakan dialog, karena dialog dianggap sebagai alat penghubung yang paling efektif. Dari dialog, orang dapat memahami perbedaan dengan agama lain, mendengarkan dan memberikan pendapat, saling memberikan pengetahuan. Menciptakan rasa saling menghormati perbedaan, menggunakan perbedaan sebagai pengetahuan.
Refernsi
Knitter, Paul F. Christian Attitudes Toward Other Religion: The Challenge of Commitment and Openess.

Minggu, Maret 11, 2012

Penyusunan Vinaya Pitaka


Setelah Pertapa Gautama mencapai penerangan sempurna dibawah pohon Bodhi dihutan uruvela, dua bulan kemudian sebagai seorang Buddha selama 45 tahun, Beliau dengan penuh cinta kasih mengajarkan Dhamma kepada para Brahmana dan pertapa, raja dan pengeran-pangeran, cendekiawan dan mereka yang sederhana pikirannya, pedagang dan pekerja serta semua lapisan masyarakat lain sesuai dengan kemampuan dan mencapai tingkat mereka masing-masing. Menurut Vinaya Atthakatha (Samantapasadika), Sang Buddha mulai memberikan vinaya setelah 20 tahun pencapaian penerangan sempurna. Pada waktu itu mulai timbul perilaku Bhikkhu-Bhikkhu yang bukan saja merugikan perkembangan spiritualnya sendiri, tetapi juga berpengaruh terhadap citra Sangha dan Agama Buddha pada umunya. Di samping itu, terdapat juga para Bhikkhu yang sebelumnya adalah pertapa dari berbagai aliran keagamaan yang berbeda pula tatakrama dan tradisinya dalam menjalani kehidupan spiritual (pertapa).
Sebagian tulisan ada perubahan wwwyaindra.blogspot.com
Latar nelakang yang majemuk itu berbagai prilaku yang buruk dan perilaku yang tidak sesuai dengan kehidupan seorang samana (pertapa) menurut pandangan Agama Buddha. oleh sebab itu, sewaktu Sang Buddha masih hidup, setiap terjadi seorang Bhikkhu melakukan perbuatan yang dapat dicela oleh para bijaksana, maka Sang Buddha menetapkan peraturan. Bila dikemudian hari ada peraturan yang dilanggar (apatti) dan dinyatakan bersalah. Dengan demikian makin lama makin banyak peraturan yang ditetapkan oleh Sang Buddha.
Setelah Sang Buddha mencapai Parinibbana (wafat), Arahat Maha Kassapa, melihat perlunya dikumpulkan Dhamma yang pernah diajarkan oleh Sang Buddha agar tidak timbul perselisihan dikemudian hari diantara para pengikutnya. Jangankan sebulan, seminggu setelah Sang Buddha Parinibbana (483 S.M) seorang yang telah menjadi Bhikkhu dengan berusia tua dan tidak disiplin bernama Subhadda berkata:
“Jangan sedih kawan-kawan, jangan meratap, sekarang kita terbebas dari pertapa Agung yang tidak lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak dilakukan, yang membuat hidup kita menderita, tetapi kita sekarang dapat berbuat apa saja yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi”. (Vinaya Pitaka II, 284)
Setelah mendengan ucapan Bhikkhu Subhadda demikian, maka Arahat Maha Kassapa atas bantuan Raja Ajatasattu dari Magada, segera mengundang 500 arahat untuk berkumpul, untuk mengumpulkan semua ajaran Sang Buddha yang diwedarka-Nya selama ini dan menyusun secara sistematis. Dalam konsili pertama yang dipimpin oleh Arahat Maha Kassapa yang berlangsung selama tujuh bulan di gua Sattapani dekat rajagaha. Arahat upali mendapat kehormatan untuk mengulang kembali vinaya dan Arahat Ananda mengulang kembali Dhamma yang disaksikan oleh para Arahat lainnya.                Sebagian tulisan ada perubahan wwwyaindra.blogspot.com
Vinaya adalah sebutan secara kolektif untuk peraturan latihan disiplin dan tradisi kebhikkhuan serta tradisi keviharaan, selebihnya yaitu semua diskusi, ceramah, dan kotbah yang disampaikan kepada Bhikkhu, Bhikkhuni, Samanera, dan Samaneri, Upasaka dan upasika, kesemuanya secara kolektif disebut Dhamma (Dharma dalam Sanskrit). Dhamma dan Vinaya yang dikumpulkan dalam konsisli pertama tersebut diterima dan disetujui sebagai ajaran Sang Buddha menjelang Belau mencapai Parinibbana; “Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu”. 100 tahun kemudian konsili kedua untuk menyelesaikan perselisihan mengenai Vinaya. Tiga bulan setelah Sang Buddha mencapai Parinibbana tidak dirasakan perlu untuk merubah Vinaya walaupun Sang Buddha membiarkan Sangha merubah peraturan-peraturan kecil. Sang Buddha juga bersabda, jika Vinaya dikurangi dan ditambah maka Sangha akan hidup rukun dan tidak akan terpecah. Oleh karena tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai mana yang boleh dirubah dan mana yang merupakan peraturan kecil serta dipandang tidak pantas merubah vinaya selagi “abuh jenazah Sang Buddha masih panas”, maka mereka tidak mengurangi maupun menambah Vinaya yang diberikan oleh Sang Buddha.      Sebagian tulisan ada perubahan wwwyaindra.blogspot.com
Akan tetapi, 100 tahun kemudian sekelompok Bhikkhu dari Vesali telah merubah beberapa peraturan yang dianggap sebagai peraturan kecil. Kelompok Bhikkhu lain menolak perubahan yang dilakukan leh Bhikkhu-Bhikkhu dari Vesali dan tetap berpegang pada Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha yng telah ditetapkan dalam konsili pertama. Mengahadapi perkembangan ini, atas bantuan Raja Kalasoka diselenggarakan sebuah konsili Kedua di Vesali yang merupakan tempat terjadinya penyimpangan Vinaya. Dalam konsili Kedua, Dhamma dan Vinaya yang dihafalkan dan diturunkan secara lisan, kemudian duicap ulang oleh 700 Arahat. Dalam Konsisli ini, Bhikkhu-Bhikkhu yang menyimpang dari Vinaya yang diberikan oleh Sang Buddha Disalahkan. Pada konsisli pertama para Arahat diakui otoritasnya dalam menentukan mana yang Dhamma dan mana yang bukan Dhamma, mana yang Vinaya dan bukan Vinaya. Akan tetapi, 100 tahun kemudian dalam konsisli kedua otoritasnya para Arahat digugat oleh sekelompok Bhikkhu yang dipimpin oleh Bhikkhu Mahadeva. Mereka berpendapat, bahwa dalam menentukan Dhamma dan Vinaya tidak dibedakan antara Arahat dan Bukan Arahat.
Kelompok yang menggugat otoritas Arahat (yang jumlahnya besar) memisahkan diri dan mengadakan konsili sendiri. kelompok ini dinamakan Mahasanghika (Kelompok besar) dan kelompok yang memandang bahwa para Arahat mempunyai otoritas menentukan Dhamma dan Vinaya disebut Staviravada (sansekerta) atau Theravada (pali). Dalam perkembangan selanjutnya, Theravada dan Mahasanghika, masing-masing terpecah menjadi dua sekte.
Setelah abad ketiga setelah Sang Buddha Parinibbana diadakan konsili ketiga, yang tidak hanya membicarakan tentang Vinaya tetapi juga membahas tentang perbedaan Dhamma antar sekte. Konsili ketiga berlangsung selama sembilan bulan yang dipimpin oleh Moggaliputra Tissa. Kelompok Theravada pecah menjadi dua; Theravada dan Staviravada. Setelah konsili ketiga, Maha Raja Asoka mengirim Dhammaduta keseluruh penjuru untuk menyebarkan Dhamma. Pada abad pertama Masehi, diadakan konsili yang disponsori leh Raja Kaniska. Konsili yang didominasi oleh Mazhab Staviravada dan tidak dihadiri oleh Mazhab Theravada karena tidak dianggap sebagai konsili keempat. Theravada mengadakan konsili keempat sendiri yang disponsori oleh Raja Vatta Gamanabhaya di Alu Vihara Sri Lanka. Pada kesempatan itu, Kitan Tipitaka dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah melestarikan Dhamma, karena dirasakan makin sedikit orang yang mampu menghafalkan Kitab Tipitaka dan agar semua orang mengetahui kemurnia Dhamma.
Referensi.
Tim Penyusun. 2003. Materi Kuliah Agama Buddha untuk Perguruan tinggi Agama Buddha (Kitab Suci Vinaya Pitaka). Jakarta: CV Dewi Kayana Abadi.

Sabtu, Maret 10, 2012

MAGANDIYA SUTTA


Sumber: Aneka Sutta, Penyusun : Maha Pandita Sumedha Widyadharma,
Diterbitkan oleh Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda 1992

Pada suatu hari Sang Bhagava bersemayam di daerah suku Kuru, di kota yang bernama Kammasadamma, di rumah seorang yang brahmana dari keluarga Bharadvaja.
Pagi-pagi sekali Sang Bhagava berkemas-kemas dan dengan membawa jubah serta patta (mangkok untuk mengumpulkan makanan) menuju ke Kammasadamma untuk mengumpulkan makanan.
Setelah mengumpulkan makanan dan selesai bersantap, Beliau lalu menuju ke sebuah hutan terdekat untuk melewati tengah hari. Di hutan ini Beliau kemudian duduk bermeditasi di bawah sebuah pohon yang rindang sampai matahari terbenam.
Ketika itu datanglah seorang pertapa bernama Magandiya di rumah brahmana Bharadvaja. Ia melihat sebuah tikar yang tergelar. Ia kemudian bertanya kepada Bharadvaja : “Untuk siapakah tikar itu digelar? Tampaknya seperti disediakan untuk seorang samana (pertapa).”
Tikar itu disediakan untuk Sang Samana Gotama, putera suku Sakya yang menjadi seorang pertapa. Beliau dihormati orang dan dimana-mana terdengar pekik kegembiraan dan pujian terhadap-Nya. Itulah Sang Bhagava, Yang Maha Suci dan Yang Maha Bijaksana, Sempurna Pengetahuan Serta Tindak-tanduk-Nya, Sang Sugata, Pengenal Semua Alam, Pembimbing Manusia Yang Tiada Taranya, Guru Para Dewa dan Manusia, itulah Sang Buddha, Sang Bhagava. Untuk Sang Bhagava inilah tikar itu disediakan.”
“Sesungguhnya, Bharadvaja, kita telah melihat sesuatu yang tidak baik, yaitu tempat tidur dari si Perusak.”
“Jangan berkata demikian, Magandiya, jangan bicara demikian Magandiya! Banyak pangeran yang cerdik pandai, brahmana yang cendikiawan, rakyat yang terpelajar dan pertapa yang arif bijaksana menghormat sekali kepada Sang Bhagava, sebab, setelah diberi bimbingan dan latihan, mereka semua dapat mengerti dengan baik dan menembus arti yang sesungguhnya dari Ajaran Suci (Dhamma) Sang Bhagava.”
“Andaikata aku dapat kesempatan untuk bertemu muka dengan muka dengan pertapa Gotama itu, maka dihadapannya aku akan juga berkata : “Pertapa Gotama adalah seorang Perusak.” Mengapa demikian? Karena hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam ajaran agama kita.”
“Aku tidak ingin Anda mendapat kesukaran. Tetapi, baiklah, ceritakanlah hal ini kepada Samana Gotama.”
Pembicaraan di atas ternyata dapat didengar oleh Sang Bhagava melalui telinga dewa yang dimiliki seorang Buddha.
Menjelang malam hari Sang Bhagava mengakhiri meditasi-Nya dan kembali ke rumah brahmana Bharadvaja. Setelah tiba Beliau kemudian duduk di atas tikar yang khusus disediakan untuk keperluan Beliau. Brahmana Bharadvaja menghampiri Sang Bhagava, memberi hormat sebagaimana layaknya dan menyapa Sang Bhagava dengan kata-kata lemah lembut dan penuh rasa hormat.
Setelah itu Bharadvaja duduk bersimpuh di samping Sang Bhagava.
Kemudian Sang Bhagava bertanya kepada brahmana Bharadvaja : “Oh Bharadvaja, apakah engkau dan pertapa Magandiya berbincang-bincang mengenai tikar yang Kududuki ini?”
Mendengar pertanyaan ini, brahmana Bharadvaja dengan badan gemetar menjawab dengan khidmat : “Hal itulah yang hamba ingin ceritakan kepada Sang Bhagava, tetapi Sang Bhagava ternyata telah membungkamkan hamba.”
Baru saja percakapan ini dimulai, tiba-tiba pertapa Magandiya, yang sebelumnya sudah melanjutkan perjalannya, memasuki rumah brahmana Bharadvaja. Magandiya memberi hormat kepada Sang Bhagava dan saling menyapa dengan kata-kata yang lemah lembut. Kemudian Magandiya mengambil tempat duduk di samping Sang Bhagava.
“Magandiya, mata menyenangi bentuk-bentuk, menyukai bentuk-bentuk dan menikmati bentuk-bentuk. Sang Tathagata telah menaklukkannya, memperhatikannya dengan seksama, menjaganya dan mengendalikannya. Untuk itulah Sang Tathagata membabarkan Ajarannya. Apakah engkau memikirkan hal ini, Magandiya, ketika engkau mengatakan : ‘Pertapa Gotama adalah seorang Perusak.’?”
“Memang aku telah memikirkan hal itu ketika aku berkata : ‘Pertapa Gotama adalah seorang Perusak.’ Mengapa aku berkata demikian? Karena hal ini bertentangan dengan ajaran agama kami.”
“Telinga, Magandiya, menyenangi suara yang merdu; hidung, Magandiya, menyenangi wewangian; lidah, Magandiya, menyenangi rasa yang lezat; tubuh, Magandiya, menyenangi sentuhan-sentuhan yang lembut; batin, Magandiya, menyenangi bentuk-bentuk pikiran, menyukainya dan menikmatinya.
Sang Tathagata telah menaklukannya, memperhatikannya dengan seksama, menjaganya dan mengendalikannya. Untuk itulah Sang Tathagata membabarkan Ajarannya. Apakah engkau memikirkan hal ini, Magandiya, ketika engkau mengatakan : ‘Pertapa Gotama adalah seorang Perusak.’?”
“Memang aku telah memikirkan hal itu ketika aku berkata : ‘Pertapa Gotama adalah seorang Perusak.’ Mengapa aku berkata demikian? Karena hal ini bertentangan dengan ajaran agama kami.”
“Bagaimanakah pendapatmu, Magandiya, andai kata terdapat seorang yang dulu menikmati bentuk-bentuk melalui mata, bentuk yang didambakan, dicintai, yang menggiurkan, yang mempesonakan, yang merangsang dan memuaskan nafsu-nafsunya; namun kemudian mengerti bagaimana bentuk-bentuk itu muncul dan lenyap kembali, tentang suka duka yang ditimbulkan oleh bentuk-bentuk dan kemudian dapat melenyapkan semua keinginan terhadap berbagai macam bentuk, dapat mengusir kerinduan akan bentuk-bentuk, berhasil mengatasi semua bentuk keinginan (tanha) terhadapnya dan memperoleh ketenangan batin dan kesucian pikiran.
Bagaimana pendapatmu tentang orang yang demikian itu, Magandiya?”

“Aku tidak mempunyai pendapat apa-apa.”
“Bagaimana pendapatmu, Magandiya, andaikata terdapat seorang yang dulu menikmati suara melalui telinga, wangi-wangian melalui hidung, rasa melalui lidah, sentuhan-sentuhan lembut melalui tubuh, hal-hal yang didambakan, dicintai, yang menggiurkan, yang mempesonakan, yang merangsang dan memuaskan nafsu-nafsunya; namun kemudian mengerti akan muncul dan lenyapnya kembali, tentang suka-duka yang ditimbulkannya dan kemudian dapat melenyapkan semua keinginan terhadap rangsangan tersebut, berhasil mengatasi semua bentuk keinginan (tanha) terhadapnya dan memperoleh ketenangan batin dan kesucian pikiran.
Bagaimana pendapatmu tentang orang yang demikian itu, Magandiya?”

“Aku tidak mempunyai pendapat apa-apa.”
“Dan mengenai diriku sendiri, Magandiya, ketika masih hidup sebagai orang yang berkeluarga. Akupun menikmati rangsangan-rangsangan yang memabukkan dari indria-indriaku, bentuk-bentuk yang menggiurkan melalui mata, wangi-wangian melalui hidung, rasa-rasa melalui lidah, sentuhan-sentuhan lembut melalui tubuh; hal-hal yang didambakan, dicintai, yang menggiurkan, yang mempesonakan dan yang memberi kepuasan kepada nafsu-nafsu, dan Aku, Magandiya, dahulu memiliki tiga buah istana. Satu istana untuk musim hujan, satu istana untuk musim dingin, satu istana untuk musim panas. Empat bulan selama musim hujan Aku berdiam di istana musim hujan. Di tempat itulah Aku dilayani oleh gadis-gadis cantik yang memainkan alat musik, menyanyi serta menari.
Namun di kemudian hari, ketika Aku mengerti tentang munculnya keinginan serta lenyapnya kembali, tentang suka duka yang ditimbulkannya dan kemudian dapat melenyapkan semua keinginan terhadap rangsangan tersebut, berhasil mengatasi semua bentuk keinginan (tanha) terhadapnya dan memperoleh ketenangan batin dan kesucian pikiran.
Dan Aku melihat mahkluk-mahkluk lain dirangsang oleh nafsu-keinginan, dicengkeram oleh nafsu keinginan, dibakar oleh nafsu keinginan, mengejar-ngejar kesenangan indria. Aku sama sekali tidak iri hati terhadap mereka, karena nafsu-keinginan duniawi tidak lagi dapat memberi kebahagiaan kepada diriKu. Mengapa?
Karena kebahagiaanKu mengarah kepada sesuatu yang lebih luhur, yaitu kebahagiaan sorga dan bukan semata-mata pemuasan keinginan indria yang tidak bermanfaat. Magandiya, seperti juga seorang kepala keluarga, atau putera seorang kepala keluarga, kaya-raya, memiliki banyak harta dan menikmati kesenangan indrianya. Selain itu ia berkelakuan baik dalam perbuatan, ucapan dan pikiran. Ketika badan jasmaninya hancur setelah meninggal dunia ia akan bertumimbal lahir di alam sorga Tavatimsa (sorga dari Tigapuluh Tiga Dewa). Di sana ia berdiam di sebuah hutan Nandana yang indah, dikelilingi para bidadari dan dapat menikmati kesenangan sorgawi. Sekiranya orang ini melihat seorang kepala keluarga atau putera seorang kepala keluarga sedang menikmati kesenangan indrianya di dunia. Bagaimana pendapatmu, Magandiya, apakah putera dewata itu yang menghuni hutan indah dengan dikelilingi bidadari-bidadari cantik dan sedang menikmati kesenangan sorgawi, akan iri terhadap kepala keluarga atau putera seorang kepala keluarga yang sedang menikmati kesenangan duniawi, sehingga ia akan meninggalkan alam sorga agar dapat menikmati kesenangan di dunia?”
“Pasti tidak Pertapa Gotama.”
“Mengapa?”
“Karena kesenangan di sorga, pertapa Gotama, lebih baik dan lebih agung dari kesenangan di dunia.”
“Akupun demikian, Magandiya, ketika masih hidup sebagai orang yang berkeluarga dan masih mencari kesenangan duniawi melalui rangsangan-rangsangan indria. Namun di kemudian hari ketika Aku mengerti tentang munculnya keinginan serta lenyapnya kembali, tentang suka duka yang ditimbulkannya dan kemudian dapat melenyapkan semua keinginan terhadap rangsangan tersebut, berhasil mengatasi semua bentuk keinginan (tanha) terhadapnya dan memperoleh ketenangan batin dan kesucian pikiran.
Dan Aku melihat mahkluk-mahkluk lain dirangsang oleh nafsu keinginan, dicengkeram oleh nafsu keinginan, dibakar oleh nafsu keinginan, mengejar-ngejar kesenangan indria. Aku sama sekali tidak iri hati terhadap mereka, karena nafsu keinginan duniawi tidak lagi dapat memberi kebahagiaan kepada diriKu. Mengapa?
Karena KebahagiaanKu mengarah kepada sesuatu yang lebih luhur, yaitu kebahagiaan sorga dan bukan semata-mata pemuasan keinginan indria yang tidak bermanfaat. Karena Aku menikmati kesenangan sorgawi, maka wajarlah bahwa tidak ada perasaan iri sedikitpun dalam diriKu terhadap mahkluk-mahkluk itu. Magandiya, seperti juga halnya dengan seorang penderita kusta dengan badan penuh luka dan bisul, kemudian menggaruk-garuk luka dan bisul itu hingga berdarah dan kemudian menggarang badannya pada perapian dengan bara api yang menyala-nyala.
Sahabat serta kawannya, sanak serta keluarga lainnya lalu memanggil seorang dokter. Dokter ini lalu memberi si sakit obat dan setelah memakai obat dokter itu, si sakit kemudian menjadi sembuh kembali, sehat, tidak lagi tergantung kepada orang lain dan dapat pergi ke mana saja yang ia kehendaki.
Kemudian ia melihat seorang penderita kusta lain yang tubuhnya penuh luka dan bisul sedang menggaruk-garuk luka dan bisulnya itu hingga berdarah untuk kemudian menggarang badannya pada perapian dengan bara api yang menyala-nyala.
Bagaimana pendapatmu, Magandiya, apakah ia akan iri kepada penderita kusta yang sedang menggarang badannya itu?”
“Pasti tidak, pertapa Gotama.”
“Mengapa tidak?”
“Jika orang itu sakit, pertapa Gotama, sudah seyogyanya ia minum atau memakai obat, jika orang itu sehat tentu saja ia tidak memerlukan obat.”
“Akupun demikian, Magandiya, ketika masih hidup sebagai orang yang berkeluarga dan masih mencari kesenangan duniawi melalui rangsangan-rangsangan indria.
Namun di kemudian hari ketika Aku mengerti tentang munculnya keinginan serta lenyapnya kembali, tentang suka duka yang ditimbulkannya dan kemudian dapat melenyapkan semua keinginan terhadap rangsangan tersebut, berhasil mengatasi semua bentuk keinginan (tanha) terhadapnya dan memperoleh ketenangan batin dan kesucian pikiran.
Dan Aku melihat mahkluk-mahkluk lain dirangsang oleh nafsu keinginan, dicengkeram oleh nafsu keinginan, dibakar oleh nafsu keinginan, mengejar-ngejar kesenangan indria. Aku sama sekali tidak iri hati terhadap mereka, karena nafsu keinginan duniawi tidak lagi dapat memberi kebahagiaan kepada diriKu. Mengapa?
Karena KebahagiaanKu mengarah kepada sesuatu yang lebih luhur, yaitu kebahagiaan sorga dan bukan semata-mata pemuasan keinginan indria yang tidak bermanfaat. Karena Aku menikmati kesenangan sorgawi, maka wajarlah bahwa tidak ada perasaan iri sedikitpun dalam diriKu terhadap mahkluk-mahkluk itu. Magandiya, seperti juga halnya dengan seorang penderita kusta dengan badan penuh luka dan bisul, kemudian menggaruk-garuk luka dan bisul itu hingga berdarah dan kemudian menggarang badannya pada perapian dengan bara api yang menyala-nyala.
Sahabat serta kawannya, sanak serta keluarga lainnya lalu memanggil seorang dokter. Dokter ini lalu memberi si sakit obat dan setelah memakai obat dokter itu, si sakit kemudian menjadi sembuh kembali, sehat, tidak lagi tergantung kepada orang lain dan dapat pergi ke mana saja yang ia kehendaki.
Andaikata, kemudian dua orang kuat memegang tangannya serta menyeretnya ke perapian dengan bara api yang menyala-nyala. Bagaimana pendaptmu, Magandiya, apakah ia tidak akan menggunakan segala daya dan tenaganya untuk meloloskan diri?”
“Pasti, pertapa Gotama.”
“Mengapa?”
“Api itu, pertapa Gotama, sangat menyakitkan bila disentuh, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya.”
“Dan Magandiya, apakah baru sekarang saja api itu menyakitkan bila disentuh, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya; atau apakah api itu dahulu juga menyakitkan bila disentuh, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya?”
“Sekarang dan juga sejak dahulu kala api memang menyakitkan bila disentuh, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya. Tetapi si penderita kusta dengan badan penuh luka dan bisul, kemudian menggaruk-garuk luka dan bisul itu hingga berdarah mungkin seperti orang yang terkena obat bius, sehingga secara tidak sadar menganggap sentuhan api yang menyakitkan sebagai sentuhan yang menyenangkan.”
“Demikian juga halnya dengan nafsu-nafsu indria, Magandiya. Dahulu nafsu-nafsu itu menyakitkan, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya, namun sekarang juga nafsu-nafsu itu tetap menyakitkan, panas sekali dan dahsyat tenaga bakarnya. Tetapi mahkluk-mahkluk, Magandiya, yang dirangsang oleh nafsu, dicengkeram oleh nafsu, dibakar oleh nafsu seakan-akan terbius dan secara tidak sadar menganggap rangsangan hawa nafsu itu sebagai sesuatu yang menyenangkan.
Seperti halnya dengan si penderita kusta, Magandiya, yang badannya penuh luka dan bisul menggaruk-garuk luka dan bisul itu hingga berdarah dan kemudian menggarangnya di perapian dengan bara api yang menyala-nyala. Lukanya akan membesar dan sakitnya akan bertambah parah, meskipun ia telah mengalami sensasi serta ‘kenikmatan’ tertentu, sewaktu ia menggaruk pecah luka dan bisul di badannya.
Demikian pula halnya, Magandiya, dengan orang-orang yang dirangsang oleh nafsu, dicengkeram oleh nafsu, dibakar oleh nafsu. Makin ia menyerah kepada tuntutan nafsu-nafsu keinginan untuk diberi kepuasan, makin kuat pula ia akan dirangsang oleh nafsu keinginan, dicengkeram oleh nafsu keinginan dan dibakar oleh nafsu keinginan dan mereka merasai suatu kepuasan tertentu, suatu kenikmatan tertentu, sewaktu ia menyerah kepada tuntutan-tuntutan nafsu keinginan itu.
Bagaimana pendapatmu mengenai hal yang berikut ini, Magandiya?
Apakah engkau pernah melihat atau mendengar tentang seorang raja atau seorang perdana menteri yang mengumbar dan mendapat kepuasan dari nafsu-nafsunya, telah memperoleh atau akan memperoleh ketenangan batin?”

“Tidak, pertapa Gotama.”
“Betul, Magandiya. Juga Aku belum pernah melihat atau mendengar tentang seorang raja atau seorang perdana menteri yang mengumbar dan mendapat kepuasan dari nafsu-nafsunya, memperoleh atau akan memperoleh ketenangan batin.”
Kemudian Sang Bhagava mengucapkan syair di bawah ini :
Kesehatan adalah keuntungan terbesar,
Nibbana adalah berkah tertinggi,
Delapan Jalan Utama adalah yang terbaik untuk mencapai kebebasan yang abadi.

Mendengar syair di atas pertapa Magandiya berkata : “Sungguh mengagumkan, sungguh luar biasa, pertapa Gotama, sungguh tepat ucapan Anda yaitu :
Kesehatan adalah keuntungan terbesar,
Nibbana adalah berkah tertinggi.”

“Akan tetapi, Magandiya, mengenai apa yang engkau dengar, telah diucapkan oleh para pertapa di jaman dulu dan oleh guru-guru mereka tentang : ‘Kesehatan adalah keuntungan terbesar, Nibbana adalah berkah tertinggi’, apakah engkau tahu kesehatan apakah yang dimaksud dan Nibbana apakah yang dimaksud?”
Mendengar pertanyaan ini, pertapa Magandiya mengusap-usap anggota badannya dan menjawab : “Inilah, Gotama yang dimaksud dengan kesehatan dan ini juga merupakan Nibbana. Karena pada saat ini, Gotama, aku merasa sehat sekali dan tidak menderita sakit apapun juga.”
“Seperti juga seorang yang dilahirkan buta tidak dapat melihat warna hitam dan putih, biru dan kuning, merah dan hijau; tidak dapat melihat apa yang rata dan apa yang tidak rata dan tidak dapat melihat bintang-bintang, bulan dan matahari. Ada seorang yang melek (tidak buta) berkata kepadanya : ‘Sebenarnya, sahabat, alangkah baiknya bila engkau memiliki pakaian berwarna putih yang bagus potongannya, tanpa noda dan bersih.’ Dan orang itu kemudian pergi untuk mencari pakaian putih tersebut. Bertemulah ia dengan seorang penipu yang menawarkan pakaian seorang tukang jagal yang kotor dan penuh lemak : ‘Sahabat, inilah selembar pakaian berwarna putih yang bagus potongannya, tanpa noda dan bersih.’
Ia menerima dan memakai pakaian itu, berjalan pergi dan dengan bangga mengucapkan kata-kata sebagai berikut : ‘Sungguh pakaian putih yang bagus, baik potongannya, tanpa noda dan bersih.’
Bagaimana pendapatmu, Magandiya, misalnya orang buta itu dapat melihat serta mengetahui, apakah ia sudi menerima dan memakai pakaian seorang tukang jagal yang kotor dan penuh lemak dan dengan bangga mengucapkan kata-kata : ‘Sungguh pakaian putih yang bagus, baik potongannya, tanpa noda dan bersih.’ Atau mungkin juga karena ia percaya kepada kata-kata dari si penipu yang melek (tidak buta)?”

“Tanpa mengetahui dan tanpa melihatnya sendiri, Gotama, orang yang dilahirkan buta itu telah menerima dan memakai pakaian seorang tukang jagal yang kotor dan penuh lemak dan merasa gembira dan bangga, karena ia percaya kepada orang yang melek.”
“Demikianpun, Magandiya, pertapa-pertapa itu yang buta, tidak dapat melihat, tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan kesehatan, tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan Nibbana, turut mengucapkan syair ini : ‘Kesehatan adalah keuntungan terbesar, Nibbana adalah berkah tertinggi’
Tetapi, Magandiya, sejak dahulu kala syair di bawah ini diucapkan oleh para Buddha yang memiliki Penerangan Sempurna : ‘Kesehatan adalah keuntungan terbesar,
Nibbana adalah berkah tertinggi,
Delapan Jalan Utama adalah yang terbaik untuk mencapai kebebasan yang abadi.’

Syair ini lambat-laun menjadi peribahasa rakyat.
Meskipun tubuh ini, Magandiya, dapat menimbulkan penderitaan, tidak kekal, menyedihkan dan mudah terkena penyakit, namun tentang tubuh ini yang menimbulkan penderitaan, tidak kekal, menyedihkan dan mudah terkena penyakit engkau berkata : ‘Tubuh ini adalah kesehatan dan tubuh ini adalah Nibbana.’
Magandiya, engkau pasti belum memiliki mata suci, karena bila engkau memiliki mata suci engkau dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan kesehatan dan dapat melihat apa yang dimaksud dengan Nibbana.”

“Sekarang aku mempunyai keyakinan yang kuat terhadap pertapa Gotama dan besar harapanku agar pertapa Gotama dapat memberikan Ajarannya kepadaku sehingga aku dapat mengenal kesehatan dan dapat melihat Nibbana.”
“Magandiya, seperti juga orang yang dilahirkan buta tidak dapat melihat warna hitam dan putih, biru dan kuning, merah dan hijau; tidak dapat melihat apa yang rata dan apa yang tidak rata dan tidak dapat melihat bintang-bintang, bulan dan matahari. Sahabat serta kawannya, sanak serta keluarga lainnya lalu memanggil seorang dokter. Dokter itu membuat obat untuknya dan setelah dipakai obat itu ternyata tidak berhasil membuat orang buta itu bisa melihat kembali, bagaimana pendapatmu, Magandiya, apakah dokter itu tidak kecewa karena jerih payahnya telah sia-sia?”
“Tentu, pertapa Gotama.”
“Demikian pula halnya, Magandiya, jika Aku mengajarmu Dhamma : ‘Inilah yang dinamakan kesehatan dan inilah yang disebut Nibbana’, namun engkau tetap tidak dapat mengenal kesehatan dan tidak dapat melihat Nibbana, dapat membuat Aku kecewa dan merasa bahwa jerih payahKu telah sia-sia.”
“Aku mempunyai keyakinan kuat terhadap pertapa Gotama dan besar harapanKu agar pertapa Gotama dapat meberikan Ajarannya kepadaku sehingga aku dapat mengenal kesehatan dan dapat melihat Nibbana.”
“Seperti juga orang yang dilahirkan buta tidak dapat melihat warna hitam dan putih, biru dan kuning, merah dan hijau; tidak dapat melihat apa yang rata dan apa yang tidak rata dan tidak dapat melihat bintang-bintang, bulan dan matahari.
Ada seorang melek (tidak buta) berkata kepadanya : ‘Sebenarnya, sahabat, alangkah baiknya bila engkau memiliki pakaian berwarna putih yang bagus potongannya, tanpa noda dan bersih.’ Dan orang itu kemudian pergi untuk mencari pakaian putih tersebut. Bertemulah ia dengan seorang penipu yang menawarkan pakaian seorang tukang jagal yang kotor dan penuh lemak : ‘Sahabat, inilah selembar pakaian berwarna putih yang bagus potongannya, tanpa noda dan bersih.’
Dan ia menerimanya serta memakainya.
Dan jika sahabat serta kawannya, sanak serta keluarga lainnya membawanya ke seorang dokter dan dokter ini memberinya obat, obat muntah, obat urus-urus, obat mata, salep dan obat hidung. Setelah memakai obat-obat ini ternyata manjur dan ia lalu dapat melihat lagi. Setelah penglihatannya pulih dengan jemu ia melihat pakaian yang dikenakan, yaitu pakaian tukang jagal yang kotor dan penuh lemak. Ia marah kepada orang yang menipunya dan sekarang ia menganggap orang itu sebagai musuh, bahkan mungkin sampai ingin membunuhnya.
Ia berpikir : “Lama aku telah ditipu, didustai, dipermainkan oleh orang dengan pakaian kotor dan berlemak dari si tukang jagal dengan mengatakan : ‘Sahabat, inilah selembar pakaian berwarna putih yang bagus potongannya, tanpa noda dan bersih.’ Dengan cara yang sama, Magandiya, bila Aku mengajarmu Dhamma kelak engkau akan mengerti apa yang dimaksud dengan kesehatan dan Nibbana. Dengan penglihatanmu yang berangsur-angsur menjadi terang, kamu akan berusaha untuk melepaskan diri dari keinginan dan kemelekatan kepada Lima Kelompok Kegemaran dan engkau akan berpikir : ‘Lama aku telah ditipu, didustai, dipermainkan oleh batinku yang melekat, yaitu melekat kepada bentuk-bentuk, melekat kepada perasaan, melekat kepada pencerapan, melekat kepada pikiran dan melekat kepada kesadaran.
Dengan adanya kemelekatan (upadana) maka terjadilah proses tumimbal lahir (bhava); dengan adanya proses tumimbal lahir maka terjadilah kelahiran kembali (jati); dengan adanya kelahiran kembali maka terjadilah kelapukan, keluh-kesah, sakit dan mati (jaramarana). Itulah sebab-musabab dari rangkaian penderitaan manusia.”

“Aku mempunyai keyakinan yang kuat terhadap pertapa Gotama dan aku harap dapat diberi pelajaran Dhamma sehingga aku dapat bangkit dari tempat ini tanpa terus-menerus buta.”
“Carilah persahabatan dengan para bijaksana, Magandiya. Sebab jika berhubungan dengan para bijaksanaan, engkau akan mendengar Ajaran (Dhamma) yang benar. Jika engkau mendengar Ajaran yang benar, engkau akan hidup sesuai dengan Ajaran itu. Jika engkau hidup sesuai dengan Ajaran yang benar, engkau nanti akan mengetahui sendiri, akan melihat sendiri : ‘Inilah dukkha (penderitaan) yang dapat dimusnahkan dalam kehidupan ini juga. Dengan tidak adanya kemelekatan maka tidak akan terjadi proses tumimbal lahir; dengan tidak adanya proses tumimbal lahir maka tidak akan ada kelahiran kembali; dengan tidak adanya kelahiran kembali maka tidak akan ada kelapukan, keluh kesah, sakit dan mati. Dengan demikian penderitaan manusia itu akan berhenti.”
Setelah mendengar sabda Sang Bhagava, Magandiya lalu berkata :
“Sungguh indah, Bhante, sungguh indah! Bagaikan orang yang menegakkan kembali apa yang telah roboh, atau memperlihatkan apa yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan lampu di waktu gelap gulita, sambil berkata : ‘Siapa yang punya mata, silakan melihat.’ Demikianlah Dhamma telah dibabarkan dalam berbagai cara oleh Sang Bhagava. Dan aku ingin mencari perlindungan kepada Sang Buddha, kepada Dhamma dan kepada Sangha. Semoga aku dapat diterima sebagai murid oleh Sang Bhagava dan ditahbiskan di hadapan Sang Bhagava sendiri.”

“Magandiya, mereka yang sebelumnya menuntut ajaran dari sekte lain dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu diharuskan untuk menjalani masa percobaan selama empat bulan. Setelah masa empat bulan berlalu dan mereka dianggap memenuhi syarat, maka para bhikkhu senior dapat mentahbiskannya menjadi bhikkhu. Tetapi dalam hal ini Aku dapat melihat ada perbedaan dalam kesanggupanmu.”
“Bhante yang mulia, jika mereka yang sebelumnya menuntut ajaran dari sekte lain dan ingin ditahbiskan menjadi bhikkhu harus menjalani masa percobaan selama empat bulan; dan setelah masa empat bulan berlalu dan dianggap memenuhi syarat, maka para bhikkhu senior dapat mentahbiskannya menjadi bhikkhu; mengenai diriku sendiri aku bersedia untuk menjalani masa percobaan selama empat tahun. Setelah masa percobaan empat tahun berlalu dan dianggap memenuhi syarat para bhikkhu senior baru mentahbiskan aku menjadi bhikkhu.”
Tetapi pertapa Magandiya pada hari itu juga diterima dan ditahbiskan di hadapan Sang Bhagava.
Tidak lama setelah Bhikkhu Magandiya diterima di dalam Sangha, dengan selalu menyendiri, mengasingkan diri, rajin dan tekun maka dalam waktu tidak terlalu lama beliau mencapai tujuan yang menjadi idam-idaman dari mereka yang meninggalkan kehidupan berkeluarga dan menjadi seorang pertapa; yaitu tujuan yang tertinggi dari penghidupan suci.
Beliau telah memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi sehingga dapat melihat dengan jelas hakekat yang sesungguhnya dari benda-benda. Beliau tahu bahwa : “Tumimbal lahir sudah dimusnahkan, penghidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan, sehingga tidak ada sesuatu lagi yang masih tertinggal.”
Dan bhikkhu Magandiya menjadi salah satu diantara para Arahat.