jejak ajaran Buddha

jejak ajaran Buddha

SPACE IKLAN

SPACE IKLAN

Translate

Kamis, Desember 08, 2011

Nilai Keharmonisan Buddhisme di Negeri Plural

Atikel Ilmiah Buddhis

Nilai Keharmonisan Buddhisme di Negeri Plural

Abstrak
            Kontroversi ketidakharmonisan antar umat beragama menjadi latar belakang penelitian ini. Penelitian ini bertujuan menciptakan keharmonisan antar umat beragama dengan menunjukkan ajaran-ajaran penting keharmonisan dalam buddhisme. Penelitian dilakukan dengan metode analisis deskriptif. Data dikumpulkan dari buku yang memiliki kaitan dengan pluralisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa truth claim yang menjadi salah satu sebab ketidakharmonisan dalam buddhisme linier dengan kasih sayang, nibbana, dan keharmonisan. Selain itu, buddhisme untuk self transformation yaitu agama adalah untuk peningkatan kualitas spiritual yang berwujud keharmonisan dalam kontek perbedaan ajaran agama.
Kata Kunci: keharmonisan, Buddhisme, plural agama

Pendahuluan
Beberapa bulan terakhir umat beragama kembali dikejutkan dengan peristiwa ketidakharmonisan antar umat beragama di Indonesia. Fenomena kehidupan beragama selalu tampil di sela-sela media masa. Peristiwa yang terekam media masa salah satunya aksi bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton, Solo pada 25 September 2011 (Kompas, 2011: 7). Sedangkan peristiwa yang tidak terekam media masa lebih banyak lagi. Berdasarkan peristiwa ketidakharmonisan antar umat beragama sekarang ini, beberapa orang mulai mempertanyakan peran agama dalam mewujudkan kehidupan bagi umat manusia, meskipun ketidakharmonisan merupakan masalah yang lebih komplek. Affandi (2004: 3) menyatakan bahwa agama yang awalnya diperjuangkan sebagai juru damai, tiba-tiba tampil sebagai bentuk sentimen baru sebagai alasan untuk merusak dan membunuh.
Indonesia merupakan negeri yang plural agama. Melalui agama tersebut, manusia berharap dapat membawa dalam kehidupan yang lebih baik dan damai. Tetapi kenyataannya agama menunjukkan hal lain. Truth claim yang terkandung dari setiap ajaran agama berbeda. Truth claim tanpa kebijaksanaan melihat perbedaan sebagai alasan untuk memberantasnya karena menganggap ajaran lain yang berbeda adalah tidak benar. Akibatnya, agama menjadi alasan pembenaran dan gaya hidup yang eksklusif. Agama menjadi sensitivitas baru seiring pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.
Ketidakharmonisan antar umat beragama merupakan peristiwa kontroversial. Penyerangan dan pembelaan; pro dan kontra mengenai pembenaran ajaran semakin sering terjadi. Di lain sisi, manusia membutuhkan agama sebagai pegangan hidup. Weber (dalam Ali, 2003: 33) menjelaskan bahwa agama sebagai kekuatan potensial dalam membentuk nilai-nilai, yang pada gilirannya membentuk karakter keseluruhan masyarakat. Agama berangkat dari urusan dan pembentuk pribadi seseorang. Agama menjadi kacamata untuk melihat ajaran lain, baik dan buruk dinyatakan dari ajarannya. Pada akhirnya agama akan memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Hans Kung (dalam Ali, 2003: 12) menyatakan bahwa tidak ada kedamaian sesama manusia tanpa adanya kedamaian antar umat beragama.  
Fenomena ketidakharmonisan antar umat beragama menjadi tantangan bagi setiap agama untuk memberikan solusi. Begitu juga agama Buddha (Buddhisme) sebagai salah satu agama di Indonesia menjawab tantangan sebagai kontribusi dalam keharmonisan antar umat beragama. Buddhisme menunjukkan jalan menuju pembebasan dari penderitaan, tanpa kecuali penderitaan akibat ketidakharmonisan antar umat beragama. Pertanyaannya, bagaimana kontribusi Buddhisme terhadap keharmonisan antar umat beragama? Pertanyaan tersebut menjadi pengantar dalam mempelajari nilai atau ajaran penting Buddhisme dalam menghadapi perbedaan ajaran yang didasarkan pada kebenaran universal dan relatifitas setiap individu untuk keharmonisan umat beragama.

Pembahasan
Pada masa lahirnya Buddhisme telah ada ajaran-ajaran yang berkembang pada masa itu. Pada masa itu tantangan sebagai ajaran baru datang dari ajaran yang telah ada tetapi Buddhisme tetap dapat bertahan. Ajaran lama mencoba mengintervensi Buddhisme karena adanya kepentingan yang bersifat duniawi, misalnya kepentingan kedudukan sosial. Meskipun demikian, Buddhisme tetap bertahan dan tidak menggusur ajaran-ajaran  lain, buktinya Hinduisme masih ada hingga sekarang sebagai perkembangan dari Brahmanisme. Dengan nilai keharmonisan, Buddhisme dapat bertahan dan berkembang di sela-sela ajaran lama dan ajaran baru. Hal itu dapat terjadi karena Buddhisme tidak mendogmatisasikan ajarannya sehingga dapat beradaptasi dengan kontek yang ada.
Keharmonisan dan Pandangan Kebenaran Buddhisme
     Setiap ajaran memiliki latar belakang atau sejarah sesuai konteknya. Buddhisme diajarkan setelah Bodhisatta Sidhatta Gotama mencapai penerangan sempurna atau ke-Buddha-an. Dalam mencapai penerangan sempurna, Bodhisatta memiliki tekat dan usaha untuk membebaskan umat manusia dari penderitaan. Hal itu dikarenakan penderitaan yang dialami manusia menumbuhkan kasih sayang (karuna) di dalam diri Bodhisatta. Dalam awal usahanya, Bodhisatta belajar dari beberapa guru spiritual tetapi ajaran mereka tidak dapat menemukan pembebasan dari penderitaan. Maka dari itu, petapa Gotama berusaha menemukan jalan dari penderitaan dengan caranya sendiri. Pada akhirnya, Bodhisatta mencapai ke-Buddha-an. Dalam buku Riwayat Hidup Buddha Gotama tertulis, “Batin-Nya menjadi tenang sekali dan penuh kedamaian karena sekarang Ia mengerti semua persoalan hidup dan Ia menjadi Buddha” (Widyadharma, 1999: 39). Mengerti persoalan hidup berarti mengetahui kebenaran yang seringkali diperdebatkan dan menimbulkan persinggungan dalam perbedaan pendapat.
     Berdasarkan penjelasan singkat penemuan kebenaran dalam buddhisme di atas, secara sistematis dapat dijelaskan bahwa kasih sayang, nibbāna (alobha, adosa, dan amoha), dan kebenaran merupakan satu garis linier yang saling berhubungan dengan kebahagiaan dan keharmonisan umat manusia. Dengan kasih sayang, seseorang tidak menginginkan orang lain menderita. Di sisi lain, konflik antar agama menimbulkan penderitaan psikis ataupun fisik yang bersebeangan dengan wujud kasih sayang, misalnya pembakaran tempat ibadah membuat sakit hati umat agama yang menjadi korban.
Berdasarkan hubungan antara nibbana dan keharmonisan, nibbāna dipahami sebagai tidak adanya kebencian (dosa), keserakahan (lobha), dan kebodohan batin (moha). Tanpa kebencian, keserakahan, dan kebodohan batin akan mewujudkan kehamonisan antar umat beragama. Hal itu dapat terjadi karena ketiga hal tersebut dapat menjadi sebab ketidakharmonisan. Kebencian menimbulkan seseorang tidak akan dapat berhubungan baik, sebagai akibatnya pertentangan bahkan perang. Melalui keserakahan, seseorang ingin menguasai orang lain atas nama kebenaran agama. Sedangkan kebodohan batin dapat dijelaskan bahwa pemikiran yang tidak memahami bahwa umat lain juga seorang manusia yang menginginkan kebahagiaan dan keharmonisan.
Kebahagiaan dan keharmonisan merupakan wujud dari kebenaran universal. Buddha memandang bahwa kebenaran bukan hanya terdapat dalam ajarannya. Buddha menyatakan bahwa Tathagata muncul atau tidak, kebenaran akan tetap ada (SN. II. 25). Maka dapat dijelaskan bahwa kebenaran seperti bulan, sedangkan Buddha sebagai seorang astronot mencapai bulan. Astronot mencapai atau tidak bulan akan tetap ada. Di sisi lain, astronot tidak hanya Buddha saja tetapi siapapun yang memiliki kemampuan yang sesuai akan mencapai bulan (melihat kebenaran). Dengan kata lain, kebenaran bukan hanya milik ajaran tertentu saja, tetapi siapapun atau ajaran agama apapun dapat melihat kebenaran. Maka dari itu, truth claim bahwa ajaran Buddha adalah satu-satunya ajaran kebenaran tidak ada dan sebagai wujudnya adalah kedamaian dan keharmonisan.
Selain itu, Buddha menjelaskan bahwa kebenaran dapat dinyatakan dengan cara yang berbeda-beda sesuai perspektif masing-masing. Buddha memberikan penjelasan dalam Udana VI. 17. bahwa beberapa orang buta diminta memegang gajah. Masing-masing orang buta memegang bagian dari gajah yang berbeda. Masing-masing orang menjelaskan bentuk dari gajah dengan pernyataan yang berbeda. Pernyataan dari setiap orang buta adalah benar karena mengetahui dari sudut pandang yang berbeda. Begitu masing-masing ajaran seringkali menampilkan pernyataan yang berbeda-beda satu dengan yang lain dalam mengungkapkan kebenaran. Jika tanpa kebijaksanaan, perbedaan pernyataan dapat menimbulkan perdebatan dan konflik. Oleh karena itu, untuk menghindari perdebatan kebenaran, Buddha menekankan pada penyelidikan kebenaran atau berdasarkan pengalaman pribadi.


Buddhisme dan Self Transformation
     Banyak ajaran agama dijadikan alasan dan alat untuk mencapai tujuan di luar pembebasan dari penderitaan, misalnya tujuan mencapai kedudukan politik. Umat yang lugu akan pemahaman agama dibentuk pola pikir dan tingkahlakunya untuk mengabdikan dirinya atas nama agama. Akibat buruknya umat tersebut menjadi robot penghancur dan rela mati membela kepercayaannya. Sudhamek (dalam Taher, 2009: 605) menyatakan bahwa Agama diajarkan bukan lagi untuk self transformation (bagi umatnya) melainkan umat adalah untuk agama. Hal itu bertentangan dengan Buddhisme yang diajarkan untuk membebaskan umat manusia dari penderitaan. Umat berstatus agama buddha atau tidak jika melakukan kebajikan akan dapat hidup bahagia.
Self transformation dalam Buddhisme dapat dijelaskan sebagai transformasi  manusia mencapai kehidupan yang lebih bahagia hingga mencapai nibbāna. Transformasi hanya dapat dilakukan oleh diri sendiri sedangkan ajaran Buddha hanya sebagai petunjuk cara mencapainya. Di lain sisi, masing-masing manusia memiliki karakter yang berbeda-beda. Menyadari hal tersebut, tidak mengherankan jika di dalam Buddhisme muncul banyak aliran (sekte)tetapi aliran satu dengan yang lainnya tetap dapat hidup berdampingan. Mereka dapat hidup berdampingan karena menyadari perbedaan hanya terdapat pada penekanan ajaran tetapi esensinya sama. Perbedaan penekanan ajaran karena masing-masing orang memiliki karakter dan kebutuhan untuk self transformation yang berbeda.
Menyadari perbedaan hanya dalam kontek pribadi yang relatif dalam memahami kebenaran universal membawa seseorang hidup harmonis meskipun terdapat perbedaan. Perdebatan karena perbedaan pendapat tidak akan merubah kebenaran. Perdebatan dan perselisihan tidak akan menghasilkan keharmonisan. Keharmonisan hanya dapat dihasilkan melalui kebijaksanaan dalam bertindak. Dengan kebijaksanaan bertindak kebenaran selalu menghasilkan keharmonisan. Maka dari itu, melalui pemahaman kebenaran dalam perbedaan dalam kontek pribadi tetap menjadikan keharmonisan melalui toleransi.
Menyadari adanya pengalaman yang berbeda-beda, seseorang tidak menjadi eksklusif tetapi bersikap fleksibel tanpa mengubah dirinya. Menanggapi permasalahan seperti ini, perlu untuk menimba kearifan dari alam. Filosofi Bunglon menjadi bagian yang cukup penting untuk menghadapi misunderstanding mengenai kebenaran. Filosofi dari seekor Bunglon yang dapat merubah warna kulitnya sesuai warna lingkungannya. Cara beradaptasi ini dapat menjadi dasar untuk memahami kebenaran orang lain. Meskipun demikian, filosofi ini bukan berarti tidak memiliki pendirian dalam menyikapi keanekaragaman agama, karena Bunglon tidak akan berubah menjadi binatang lain (misalnya cecak). Penekanan dari filosofi ini pada bagaimana umat beragama hidup berdampingan dan mampu beradaptasi dengan agama lain, tanpa harus menanggal identitas keagamaannya. Hal ini dapat dikaitkan pada sikap absolutely relative atau relatively absolute yaitu yakin bahwa agama saya benar, namun relatif bagi penganut agama lain (Ali, 2003: 30).
Self tranformation diperoleh setelah seseorang mempraktikkan dan mengalami sendiri ajaran (personal experience). Personal experience dapat digunakan dalam menanggapi ajaran lain dengan cara mengalami sendiri ajaran lain untuk membuktikan kebenarannya. Buddha menjelaskan bahwa di Kesaputta didatangi beberapa guru spiritual yang masing-masing menyatakan bahwa ajarannya yang paling benar. Akibatnya, warga Kesaputta menjadi  kebingungan untuk meyakini dan mengikuti ajaran yang benar. Mendengar keberadaan Buddha, warga Kesaputta meminta nasihat kepada Buddha. Buddha menasehati warga kesaputta untuk mempraktikkan ajaran-ajaran yang disampaikan, jika membawa kebahagiaan maka itulah kebenaran, dan jika ajaran tersebut membawa penderitaan maka tinggalkan ajaran tersebut (AN. I. 18).
Berdasarkan personal experience yang berbeda-beda menjadikan kekayaan pengetahuan dalam memahami kebenaran serta mewujudkan keharmonisan. Dengan kata lain saling melengkapi dalam perbedaan. Hal itu dapat dipermudah dengan pemahaman filosofi karawitan. Dalam karawitan terdapat jenis gamelan, cara menabuhnya, dan menghasilkan suara yang berbeda sera dipadukan dengan vokal gerong. Perpaduan yang sesuai karawitan akan menghasilkan suara yang komplek dan indah. Jika kekurangan jenis gamelan tertentu saja akan terasa kurang. Begitu pula perbedaan keyakinan atau agama dapat berkumpul dan saling bertukar pengetahuan untuk merajut benang-benang kebenaran untuk keharmonisan antar umat beragama. Lebih penting dari perbedaan agama, nilai kemanusiaan yang saling membutuhkan dan ketergantungan dalam bermasyarakat menjadi pertimbangan yang penting.
Nilai Praktis Buddhisme untuk Keharmonisan
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri dalam kontek hukum kausalitas. Dengan kausalitas yaitu pengetahuan tentang pola sebab-akibat yang memungkinkan untuk mengakhiri kecenderungan merusak (Kalupahana, 1976: 23). Dalam timbulnya ketidakharmonisan (akibat) dikarenakan adanya sebab. Menyadari bahwa ketidakharmonisan membuat orang hidup menderita maka sebab dapat digunakan untuk mengatasinya. Senada dengan pernyataan Thich Nhat Hanh yang dikutip Sudhamek, beliau mengajarkan bahwa hidup ini bersifat interdependensi sehingga dalam kehidupannya, manusia harus dapat melihat adanya kesalingtergantungan dan keterkaitan antara dirinya dengan dengan berbagai fenomena yang ada diluar dirinya (Taher, 2009: 607-608). Kesalingtergantungan dan keterkaitan dapat dipahami dengan contoh berikut, makanan pokok di Indonesia adalah nasi; nasi terbuat dari beras yang ditanam oleh petani (menganut agama yang berbeda); untuk menghasilkan pupuk dari produsen pupuk (menganut agama yang berbeda); pupuk dibuat dari kerjasama karyawannya (menganut berbeda agama yang berbeda); dan masih berlanjut lagi. Dengan singkat kata, seseorang membenci dan merugikan orang lain sama saja membenci dan merugikan dirinya sendiri. Maka dari itu, seseorang harus menjaga hubungan baik dengan orang lain dan lingkungannya agar keharmonisan dapat terwujud.
Berdasarkan kausalitas, umat beragama tidak menjadikan agama sebagai sensitifitas dalam kehidupannya. Menanggapi perbedaan agama adalah dengan kebijaksanaan. Menanggapi tingkah laku manusia adalah dengan kebijaksanaan akan perikemanusiaan. Kebutuhan psikologi setiap manusia salah satunya adalah perhatian. Perhatian dapat diwujudkan dalam gotong royong, kasih sayang, dan simpati. Gotong royong atau kerjasama yang baik ditumbuhkan dalam keberagaman agama, misalnya dalam membangun tempat ibadah. Kasih sayang diwujudkan ketika umat agama lain sedang mendapat kesusahan, misalnya dengan memberikan sumbangan materi atau tenaga. Simpati diwujudkan ketika umat agama lain sedang berbahagia, misalnya mengucapkan selamat ketika umat lain sedang merayakan hari besar agamanya.   
Kebijaksanaan dan pengendalian diri memiliki peranan pula dalam menjaga keharmonisan. Buddha menjelaskan dalam Brahmajala Sutta bahwa jika ada orang memuji Tathagata, Dhamma, atau sangha jangan menjadikan gembira atau sombong; jika ada yang menghina Tathagata, Dhamma, atau Sangha jangan menjadi marah atau membenci; kedua hal itu dapat menjadi penghambat kemajuan batin (DN. I. 3). Hal tiu dilakukan untuk menghindari dualisme. Buddhisme diajarkan bukan sekedar untuk mendapatkan pujian melainkan kebahagiaan. Kebiasaan dipuji akan menjadikan seeorang menjadi sakit hati ketika hinaan yang diterima. Dalam kontek sosial untuk menjaga hubungan baik, pujian dapat dilakukan jika ajaran benar-benar mewujudkan kedamaian.
Berkaitan dengan dualisme, dualisme tidak dapat menyelesaikan masalah konflik antar agama. Dulisme dalam konflik dapat diartikan membela salah satu pihak yang sedang berkonflik berdasarkan alasan apapun. Hal itu telah ditunjukkan Buddha dalam mengatasi perang antara Kerajaan Kosala dan Kerajaan Sakya, Buddha tidak membela bekas kerajaannya tetapi mengambil jalan tengah dengan pentingnya keharmonisan (Sivaraksa, 1992: 107). Dengan kata lain Buddhisme memiliki totalitas kebenaran yang berdampak keharmonisan. Bhiksu Thich Hanh mengungkapkan, “Bahkan jika Buddhisme sekarang ini lenyap, namun bila kehidupan manusia dapat terjaga dan ketika martabat dan kebebasan manusia dapat diperkuat hingga tercapai perdamaian dan kebaikan, maka Buddhisme akan dapat lahir kembali di hati manusia” (dalam Sivaraksa, 2001: 96). Dengan kata lain, Buddhisme menekankan pada proses yang sejalan dengan keharmonisan.






Penutup
Kesimpulan
     Kebenaran dalam Buddhisme merupakan satu garis linier dengan keharmonisan. Kebenaran diperoleh dengan melenyapkan kotoran batin manusia yang menjadi akar konflik dan membawa pada pencapaian nibbana. Nibbāna identik dengan kebahagiaan dan kedamaian sehingga dapat dikatakan bahwa dampak dari kebenaran Buddhisme adalah keharmonisan. Perbedaan ajaran agama merupakan perbedaan perspektif dari setiap individu dalam mengungkapkan kebenaran yang tidak perlu dipermasalahkan. Mempelajari ajaran yang berbeda akan menambah pengetahuan baru tentang kebenaran universal. Nilai praktis Buddhisme dalam mewujudkan keharmonisan dapat diwujudkan dengan gotong royong, kasih sayang, simpati, kebijaksanaan, pengendalian diri, dan totalitas untuk keharmonisan.
Saran
     Keharmonisan merupakan dambaan setiap orang, maka dari itu, sebagai umat Buddha khususnya yang telah mengetahui nilai-nilai keharmonisan dalam Buddhisme mempraktikkan ajaran tersebut. Setiap manusia memiliki kontribusi terhadap kebaikan dan keburukan dalam kehidupan yang plural agama. Masing-masing umat beragama memulai bertindak dengan kesadaran, kebijaksanaan, dan tindakan yang humanis untuk kemajuan bersama dalam bidang spiritual.  

           
           
           








Daftar Pustaka
Affandi, Hakimul I. 2004. Akar Konflik Sepanjang Zaman.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ali, Muhamad. 2003. Teologi Pluralis Multikutural. Jakarta: Kompas.

John, D. Ireland. -. Udana. Terjemahan oleh Anggawati dan Cintiawati. 1995. Yogyakarta: Vidyasena.

Kalupahana, David. 1976. Filsafat Buddha. Terjemahan oleh Kandahjaya. 1986. Jakarta: Erlangga.

Nyanaponika, & Bodhi. -. Anguttara Nikaya. Terjemahan oleh Anggawati, L. & Cintiawati. 2003. Klaten: Vihara Bodhivamsa.

Sivaraksa, Sulak. 1992. Benih Perdamaian. Terjemahan oleh Djohan, Daniel. 2001. Jakarta: Hikmahbudhi.

Sudhamek. -. Pandangan Buddhayana dan Djohan Efendi. Dalam Taher, Elza Peldi. (Ed.), 2009. Merayakan Kebebasan Beragama. (P. 605-643). Jakarta: ICRP & Kompas.

Walshe, Maurice. 1995. Digha Nikaya. Terjemahan oleh Team Giri Manggala Publication dan Team Dhamma Citta Press. 2009. Trawas: Dhamma Citta Press.

Widyadharma, S. 1999. Riwayat Hidup Buddha Gotama. Jakarta: Cetiya Vatthu Daya.

-. 2011. Bom Syahid di Mata Rahib. Kompas. 29 September, hlm. 7.




Bodhi. -. Samyutta Nikaya II. Terjemahan oleh Anggawati L. & Cintiawati. 2007: Klaten: Vihara Bodhivamsa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar